Lembaga Pers Mahasiswa

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” ― Pramoedya Ananta Toer

Sunday, June 29, 2014

On 6:02 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
Hasil seleksi berkas dapat didownload di sini

Saturday, June 21, 2014

On 2:41 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
Surabaya— Pada hari Sabtu (14/6), tiga perwakilan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Mercusuar, Universitas Airlangga yakni Vijai Indoputra, Rizaldy Yusuf, dan Adi Nurahman Pratama, mengikuti acara diskusi yang diadakan oleh kompas. Judul acara ini adalah “Mahasiswa Berbicara”. Artinya adalah bagaimana keterlibatan mahasiswa dalam mengawasi proses pemerintahan, melakukan kritik terhadap pelanggaran hukum, ketidakadilan sosial, dan isu-isu lainnya. Diskusi yang diadakan di Gramedia Kompas (Jalan Jemursari 64 Lt.3) ini juga membahas mengenai tantangan yang dihadapi oleh lembaga pers mahasiswa hingga solusinya. Diskusi ini dihadiri oleh LPM se-surabaya, misalnya LPM 1.0 dari ITS, Laskar Ambisius dari IAIN Sunan Ampel, Sesasi dari Universitas Negeri Surabaya dan belasan LPM lainnya.

Wisnu Nugroho selaku pembicara membuka diskusi dengan menceritakan pengalamannya ketika menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya pada masa transisi, yakni orde baru dan reformasi. Wartawan kompas yang telah 13 tahun berkarya dibidang jurnalistik itu, menyebutkan bahwa “lembaga pers mahasiswa saat ini telah kehilangan rohnya.” Pers mahasiswa saat ini tengah kehilangan arah sehingga tidak fokus pada permasalahan sosial yang ada pada lingkungan namun hanya pada acara-acara internal yang tidak menarik lagi untuk ditunggu oleh mahasiswa.” Selain itu permasalahan pendanaan yang berasal dari Universitas masih menjadi kendala umum LPM, sehingga sulit untuk mengkritisi keputusan birokrasi kampus. Belum lagi kepedulian mahasiswa saat ini sangat rendah terhadap permasalahan sosial, hingga hampir semua permasalahan dianggap sebagai angin lalu. “Tahu, tapi tidak melakukan apa-apa” ujar Wisnu. “Dari 27.000 mahasiswa Unesa, hanya 300 klik yang berhasil didapatkan dalam sebuah berita yang dipublikasikan via media online", mahasiswa dari Sesasi manambahkan.

Mengenai pendanaan, salah satu mahasiswa menawarkan solusi. Bahwa kedudukan Pers yang ada dikampusnya sejajar dengan posisi rektor sehingga pihak rektor tidak dapat menekan lembaga independen tersebut. Mengenai rendahnya minat mahasiswa, Lembaga pers saat ini, harus lebih kreatif dalam menyusun berita, khususnya berita online. Solusi yang ditawarkan oleh Wisnu adalah judul berita harus menarik, tetapi tetap memperhatikan kesesuaian dengan isi; tidak boleh lebih dari 500 kata, karena mata akan kelelahan jika tulisannya terlalu banyak; dan sertakan dengan ilustrasi gambar, grafik ataupun foto.

Melalui acara ini, Kompas ingin menjadi “provokator menulis” bagi mahasiswa. Artinya mewadahi kemampuan analisis mahasiswa dengan memfasilitasi beberapa halaman rubrik mahasiswa. Rubrik ini nantinya akan memuat tulisan mahasiswa seputar ‘kegelisahan’ mahasiswa. Tulisan dapat berupa kritik maupun solusi khususnya tentang keberlangsungan proses pemilu presiden, yang akan diadakan pada, 9 Juli 2014 nanti. Mahasiswa dapat mengirimkan tulisannya sebanyak 2 halaman ke alamat email redaksi kompas di mahasiswabicara@kompas.com dengan honorium bagi yang tulisannya dimuat (Redaksi).

On 2:40 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
Dalam rangka menghidupkan kembali kegiatan pers mahasiswa di kampus-kampus, Tempo Media Group pada hari Jum’at tepatnya tanggal 13 Juni 2014 mengundang pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Mercusuar Universitas Airlangga untuk mengikuti kegiatan seminar jurnalistik. Pada kegiatan tersebut, enam pengurus LPM Mercusuar yang hadir yakni Ahmad Fahri Huseinsyah, Rizka Perdana, Fakhry Ilmullah, Ahalla Tsauro, Auliya Rahman, dan Larasati Andayani, disambut hangat oleh karyawan dan staf Tempo yang kantornya bertempat di Surabaya. Walaupun berbentuk seminar, kegiatan tersebut berlangsung sangat santai. Mas Agus, selaku kepala Biro Tempo Surabaya, sebelum memulai kegiatan mempersilakan kami para peserta untuk terlebih dahulu menyampaikan pertanyaan dan agenda pers yang menjadi tujuan di LPM. Kesempatan tersebut pun tidak disia-siakan oleh peserta. Ahmad Fahri selaku pimpinan redaksi LPM Mercusuar Unair menanyakan mengenai tiga hal pokok yakni proses pengolahan berita agar menjadi sebuah berita yang layak, pembagian divisi, dan bagaimana LPM dijadikan bukan sekedar sebagai organisasi melainkan juga perusahaan yang dapat mengumpulkan dana. Sedangkan Ahalla Tsauro menanyakan mengenai cara sukses Tempo sebagai media yang saat ini masih survive dan diakui eksistensinya walaupun usianya sudah tergolong lama. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pun ditanggapi secara antusias oleh Mas Agus.

Menanggapi pertanyaan Ahmad Fahri, Mas Agus menjelaskan mengenai pengolahan berita di dalam Tempo sendiri. Bahwa semua berita yang disajikan Tempo seluruhnya berawal dari rapat redaksi yang dilaksanakan sangat demokratis. Dikatakan demokratis karena seluruh awak Tempo baik yang statusnya masih sebagai calon reporter sampai kepada redaksi maupun redaksi senior, seluruhnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengusulkan berita. Sejauh berita yang diusulkan tersebut menarik dan mempunyai angle serta news pact, maka berita tersebut kemudian akan digolongkan sebagai berita layak Tempo yang akan ditindaklanjuti untuk kemudian dibuat reportasenya. Proses ini dapat dikatakan perlu ditiru oleh LPM demi mewujudkan iklim yang demokratis dan menekankan kepada keterbukaan. Mengenai pembagian divisi, mas Agus menilai bahwa lima divisi yang telah dibentuk LPM Mercusuar Unair yakni Redaksi, Litbang, Perusahaan, Artistik dan Fotografi, serta Humas sudah dirasa cukup untuk mewadahi jalannya kegiatan pers. Sedangkan dalam hal pengumpulan dana Mas Agus sengaja tidak menjabarkannya karena pada sesi ketiga seminar pertanyaan tersebut banyak dibahas oleh Mas Adi selaku Account Executive di Tempo Surabaya. Selanjutnya, menanggapi pertanyaan Ahalla, Mas Agus menjelaskan bahwa Tempo saat ini masih dapat survive dikarenakan oleh keunggulan konten yang dimilikinya. Mengingat setelah reformasi banyak menjamur media-media yang kritis, maka Tempo saat ini tidak lagi hanya mengandalkan sisi kritis dan gaya penulisan melainkan juga menawarkan pemberitaan yang bersifat investigatif. Investigatif di sini merujuk kepada hal-hal yang perlu diketahui masyarakat tetapi akses informasi tersebut minim dan cenderung ditutup-tutupi. Sejauh ini, media yang memberikan laporan investigatif masih jarang dan Tempo dapat dikatakan sebagai perintis laporan investigatif tersebut sehingga sampai saat ini, Temp masih diminati dan lekat dengan masyarakat. 

Dalam presentasinya, Mas Agus menjelaskan mengenai sejarah singkat pembentukan Tempo. Tempo dibentuk pada tahun 1971 oleh sekelompok anak muda yang terdiri dari Goenawan Muhammad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Usamah. Awalnya mereka tergabung dalam Ekspres, sebuah majalah berita mingguan. Namun karena terdapat perbedaan pendapat, mereka memutuskan keluar dan mendirikan Tempo. Nama Tempo sendiri dipilih karena kata ini dianggap mudah diucapkan dan cocok dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni mingguan. Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971. Dengan mengedepankan peliputan berita yang jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik dan jenaka, Tempo tampil beda dan diterima masyarakat.

Tahun 1982, merupakan pertama kalinya Tempo dibredel karena dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan Golkar sebagai kendaraan politiknya. Namun pembredelan ini hanya berlangsung selama dua bulan. Tempo diizinkan terbit kembali setelah menandatangani semacam “janji” di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu. Pengalaman pembredelan tersebut tidak lantas membuat Tempo gentar untuk membuat jurnalisme yang tajam khususnya terhadap pemerintahan Orde Baru. Dengan semakin menguatnya internal redaksi dan laporan jurnalisme yang investigatif, Tempo kembali dinilai terlalu tajam mengkritisi pemerintahan Soeharto. Puncaknya pada tahun 1994, untuk kedua kalinya, Tempo dibredel karena dianggap mengadu domba Habibie dengan Menteri Keuangan saat itu dalam hal pembelian kapal bekas dari Jerman Timur. Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di Tempo tercerai-berai akibat pembredelan berembug ulang. Mereka membicarakan tentu perlu tidaknya menerbitkan kembali Tempo, dan hasilnya, pada 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali. Karena kekurangan dana dan aset pasca pembredelan, Mas Agus menjelaskan bahwa banyak pihak yang berkepentingan pada saat itu ingin mengakuisisi dan membeli sebagian saham Tempo, namun Tempo berulang kali menolak karena tidak ingin kebebasannya tergadaikan oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang ingin menjadikan Tempo sebagai alat. Oleh karenanya, untuk menghindari hal tersebut, Tempo kemudian menawarkan sahamnya kepada publik dan jual secara terbuka di pasar saham, sehingga Tempo merupakan milik bersama, milik publik, bukan milik sekelompok konglomerat atau politisi yang memiliki kepentingan.

Setelah Mas Agus memberikan penjelasan, seminar sesi kedua dilanjutkan dengan Mbak Endri sebagai pembicaranya. Mbak Endri yang merupakan reporter senior di Tempo menjelaskan mengenai materi pelatihan jurnalistik yang disambut antusias oleh para peserta. Mbak Endri dengan gayanya yang sangat santai, membuat materi yang sebenarnya padat menjadi lebih ringan dan lebih mudah diterima. Mbak Endri dalam penjelasannya mengatakan bahwa bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam media. Bahasa yang digunakan media haruslah khas agar dapat mudah melekat dan menarik pembaca. Selain itu, rubrikasi juga diperlukan, namun sebelum penentuan rubrik apa saja yang ingin dibuat, penentuan visi dan misi dari media adalah hal yang harus terlebih dahulu ditentukan sehingga arahnya jelas dan rubrik yang akan dibuat akan sejalan dengan visi dan misi media tersebut. Rubrikasi sendiri menurut sifatnya terdiri dari news, info, opini, entertainment, dan bridge (menghubungkan media dengan pembaca). Di antara rubrikasi tersebut, bridge merupakan ciri khas yang dimiliki oleh sebuah media jurnalistik yang tidak didapati pada media lainnya. Bridge memungkinkan pembaca dapat berkomunikasi dan memberikan kritik langsung terhadap media yang biasanya dimuat dalam surat pembaca.

Melihat saat ini banyak media yang mencampuradukkan antara fakta dan opini sehingga menyesatkan pembaca, Mbak Endri menilai bahwa hal tersebut tidaklah dibenarkan. Karena bagaimanapun, berita yang merupakan sebuah fakta tidak seharusnya dibumbui oleh unsur opini. Apabila memang terdapat opini maka opini tersebut dimasukkan dalam rubriknya tersendiri, tidak digabungkan dengan berita yang ditulis di atas fakta. Selanjutnya, Mbak Endri juga menjelaskan mengenai proses produksi berita yang terdiri dari reporting, penulisan, dan editing. Reporting bersumber dari peristiwa, usulan atau liputan yang dapat diperoleh dari reportase dan wawancara. Dalam hal penulisan, Mbak Endri menyebutkan bahwa terdapat empat syarat utama menulis yang harus dipenuhi yakni menguasai masalah, menentukan angle, fokus, dan cover both side. Sedangkan dalam hal editing, hal yang harus diperhatikan adalah penajaman tulisan, pengayaan konteks, logika bahasa, akurasi, dan keamanan (sudahkah mewawancarai semua pihak yang disebut dalam tulisan? sudahkah cover both side?).

Terakhir, mbak Endri memberikan peserta tips untuk menjadi wartawan atau reporter yang baik. Beliau menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang wartawan atau reporter yang baik, kita harus dapat berteman dengan semua orang. Dalam artian kita tidak boleh meremehkan narasumber, siapapun orangnya, dari penjaga kubur sampai pejabat negara sekalipun. Selanjutnya, kita diharuskan untuk mengenali sumber luar-dalam, misalnya identitas, karir, hobi, gaya hidup, jaringan sosial ataupun kelemahan dan kelebihannya. Karena dengan begitu, kita akan lebih mudah menggali informasi dari narasumber. Selain itu, kita juga harus kredibel di mata sumber. Dalam artian bahwa kita tidak melakukan wawancara dengan kepala kosong melainkan mempunyai pengetahuan dan informasi yang memadai terkait dengan hal yang akan diperbincangkan. Seorang wartawan atau reporter yang baik menurut Mbak Endri tidak egois dan berkhianat sehingga memperhatikan komitmen off the record dan tidak berlaku pongah serta tidak ngaret dan berpakaian lusuh (meski tak perlu mentereng).

Sesi terakhir dari seminar jurnalistik yang diadakan Tempo ditutup dengan presentasi yang disampaikan oleh mas Adi selaku Account Executive (AE) di Tempo Surabaya. Selain reporter dan redaksi, ternyata terdapat aktor lain yakni AE yang turut berkontribusi bagi jalannya proses produksi jurnalisme media. Sebagai seorang AE, Mas Adi menjelaskan mengenai bagaimana sebuah media mampu mendapatkan dana sehingga kontinuitas produksi dapat tetap berjalan. Mas Adi menyebutkan bahwa terdapat empat pilar utama bisnis media cetak yakni konten, sirkulasi/distribusi, readership, dan iklan. Namun karena keterbatasan waktu, Mas Adi lebih menekankan penjelasan kepada pilar iklan sebagai hal yang sangat krusial bagi bisnis media. Sebagaimana yang diketahui bahwa saat ini, iklan menjadi media yang sangat efektif dalam melancarkan promosi produk. Media kemudian menawarkan perusahaan-perusahaan atau agensi untuk memasang iklannya di media. Tugas AE dalam hal ini adalah menjadi penghubung bagi perusahaan atau agensi periklanan untuk memasang iklan-iklan tersebut di medianya, yang harganya tentu saja sangat fantastis, di mana satu halaman koran atau majalah dapat saja dihargai puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah. Dari iklan inilah, media kemudian memperoleh pemasukan yang cukup besar, sehingga kapasitas seorang AE dalam melakukan penawaran dan lobi menjadi penting. Oleh karenanya, mas Adi kemudian memberikan beberapa kiat untuk menjadi seorang AE yang handal, di antaranya, mempunyai rasa percaya diri, good looking (dalam artian rapi dan enak dilihat), berpengetahuan luas, mmepunyai kemampuan menjual dan negosiasi, mampu membangun jaringan dan relasi, serta mengerti kebutuhan klien.

Seminar jurnalistik yang diadakan Tempo Media Group ini memberikan banyak informasi baru dan sekaligus menarik karena informasi tersebut langsung diperoleh dari orang-orang yang sudah lama berkecimpung dalam bidang jurnalistik yang sudah mengalami benar pahit manisnya memburu berita. Melalui kegiatan-kegiatan seminar dan pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh media-media seperti Tempo, diharapkan bahwa aktivitas jurnalisme di kampus-kampus semakin menguat lewat lembaga-lembaga pers mahasiswa. Karena bagaimanapun, pers merupakan sarana bagi mahasiswa untuk menumpahkan idenya mengenai berbagai isu yang menjadi urgensi dan perhatian baik di lingkungan kampus maupun masyarakat secara luas. Sehingga keberadaan pers dan aktivitas jurnalisme di kampus harus tetap dipupuk dan tidak boleh dibiarkan mati begitu saja.
On 2:38 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
Oleh Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Airlangga “Mercusuar”[2]

 Isu Dolly cukup menyita perhatian kita akhir-akhir ini. Selama beberapa lama hingga kini, Dolly menjadi isu yang rumit apabila ditinjau dari permasalahan-permasahalan yang ada di dalamnya. prostitusi dimana-mana selalu memancing keresahan di masyarakat, Gang Dolly pun tidak terkecuali. Bagi masyarakat, isu tentang Dolly sudah sangat cukup popular, baik secara masyarakat mengenalnya sebagai tempat bisnis esek-esek, dampak yang diakibatkan, dan juga namanya yang sudah familiar konon katanya sebagai pusat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Ya, dan itu terletak di Kota Surabaya, salah satu kota terbesar di Indonesia. Sekarang, posisi Dolly adalah menjelang pada penutupan. yang jadi menarik adalah kemudian, ketika dilihat dari seberapa luas dampak penutupan Dolly ini baik secara sosial, ekonomi, politis dan lain-lain. dan mau diubah seperti apa kawasan tersebut setelah tidak lagi menjadi pusat prostitusi? Kerawanan Sosial Dolly Dolly yang dikenal sebagai pusat esek-esek tidak hanya terdengar di kalangan warga Surabaya dan Jawa Timur saja. Bahkan gaungnya terkenal sampai ke luar negeri. Tentu ini bukan suatu prestasi, melainkan tamparan bagi warga Surabaya khususnya, karena di saat yang sama, Surabaya lebih dikenal di luar sebagai kota pelacuran ketimbang julukanya sebagai “Kota Pahlawan”.

Pemerintah tentu bukan tanpa alasan melakukan penutupan. Pasalnya penutupan Dolly bukan terjadi di era Walikota Tri Rismaharini saja, melainkan sudah terdengar semenjak era Bambang DH, bahkan sejak 1999. Dari perspektif yang menolak penutupan, belum terdapatnya upaya duduk bareng antara Pemkot dengan PKL di kawasan Dolly, untuk membicarakan alternative kegiatan ekonomi ke depan bagi mereka pasca-penutupan. Jika kemudian penutupan adalah kebijakan, tetapi kebijakan pasca penutupan belum menjadi grand design program yang utuh yang dipahami dengan baik oleh masyarakat yang bersangkutan. Kalau seperti ini, akan menjadi percuma keputusan untuk penutupan. Mengingat kasus tempat lokalisasi. masyarakat dan beberapa golongan yang berkepentingan dilanda kebingungan akibat masih simpang-siurnya informasi dan pemberdayaan masyarakat pasca-penutupan. Konteks masalah Dolly tidak dapat dilihat sebagai aktivitas transaksi antara pelanggan dan PSK saja. Dibalik PSK ada mucikari. Dibalik PSK dan mucikari ada masyarakat yang sebagian besar bergantung kepada perputaran ekonomi meski dari hasil bisnis esek-esek tersebut. Di dalam memandang aktivitas lokalisasi, bukan soal WTS yang menjual dirinya ke lelaki hidung belang, setelah itu selesai, bukan. Akan tetapi dikordinir, berlangsung secara teratur dan dikelola oleh peranan para Mucikari secara sistematis. Mulai dari persebaran PSK, perekrutan, dan lain-lain. Mucikari bermain dengan sangat rapih dan terkordinir. Jika verifikasi dan upaya follow up tidak maksimal oleh pemerintah, maka akan berpeluang untuk dibangunya pusat prostitusi di wilayah lain pasca-Dolly. Dan hal tersebut sudah terbukti bahwa mulai menjamurnya prostitusi berkedok jasa panti pijat di wilayah Surabaya. Ditambah lagi, lokalisasi Dolly pasti berkaitan juga dengan jaringan trafficking bisnis prostitusi lintas wilayah, bahkan lintas negara. Penutupan ini nantinya tidak lantas menyelesaikan masalah. Selain persoalan mekanisme penutupan dan kebijakan ganti rugi pasca-penutupan. Penutupan yang tidak matang nantinya malah justru melebarkan persoalan, prostitusi justru semakin menyebar dan tidak terkendali, persebaran HIV tidak bisa dihindari. Terlebih, PSK Dolly dilihat dari asal daerahnya sangat beragam. Konsentrasinya tidak hanya Surabaya, tetapi asalnya meliputi daerah-daerah di wilayah Jawa Timur, bahkan tidak sedikit yang berasal dari Jawa Barat.

Hal ini tentu akan membawa masalah-masalah baru, karena PSK tidak semata-mata mencari kerja. Akan tetapi berada dalam keterikatan dengan jaringan mucikari, yang terkordinir secara lintas wilayah. Dampaknya, prostitusi terancam tersebar lebih luas dengna menjangkau titik-titik yang sebelumnya tidak terlalu signifikan angkanya. Pemerintah harus take responsibility kepada masyarakat dengan pemahaman bahwa PSK sepulangnya dari Dolly harus diberikan ruang untuk beraktualisasi dalam sektor ekonomi yang lain dan menghindari terjerumusnya ke dalam lembah nista lagi. Penutupan tempat prostitusi harus holistic. Sebab jika tidak, apabila nantinya Dolly ditutup, akan tetapi prostitusi justru menjalar ke klub-klub dan panti Pijat? Tidak juga secara serta-merta bahwa aktivitas prostitusi bisa selesai setelah PSK diberi santunan dan kembali ke daerahnya masing-masing. Sedangkan dalam posisi yang sama, keadaan di Dolly yang sudah lama berlangsung adalah begitu tergantungnya PSK-PSK terhadap keberadaan majikan/mucikari mereka. Peristiwa terjeratnya utang yang dialami PSK adalah ironi profesi yang cukup kontroversial tersebut. Karena ketergantungan yang diciptakan ini kemudian lahir perasaan untuk terus-menerus bergantung terhadap profesi tersebut. Maka tidak sedikit PSK-PSK yang terpaksa menghidupi keuanganya dengan melanjutkan bekerja pada mucikari ini. Dan sangat besar kemungkinan pasca-penutupan, PSK-PSK tersebut kembali berprofesi sebagai penjaja seks. Dibutuhkan solusi dan pemahaman utuh terhadap penyelesaian Dolly yang berlarut-larut.

Dolly ku? secara latar belakang, keberadaan prostitusi itu sama dengan usia peradaban manusia. Setiap peradaban itu lahir, sistem kehidupan yang makin tersistematis, maka saat itu pula prostitusi hadir sebagai jawaban atas salah satu sarana penyaluran kebutuhan-kebutuhan biologis oleh kalangan tertentu sehingga harus dipenuhi. Menurut Listiyono Santoso, akademisi FIB Unair, keberadaan Dolly itu sebagai tempat prostitusi menuai masalah, karena posisinya sebagai pusat lokalisasi namun berada di tengah pemukiman. Begitupula posisinya sebagai tempat yang padat pemukiman yang dibiarkan menjadi pusat lokalisasi. Karena ketika bicara ideal, dalam konsep tata ruang dan sosiologi perkotaan, letak tempat prostitusi adalah harus dijauhkan dari hiruk-pikuk aktivitas kehidupan, dan tentu jauh dari pemukiman. Karena lokalisasi sebagai tempat yang semestinya terbatas, berfungsi sebagai pemusatan prostitusi agar mampu untuk dikendalikan dan dikontrol, ketimbang ketika prostitusi dibiarkan liar, bebas dan tidak terkendali di jalanan-jalanan, yang dimana resikonya jauh lebih besar. Beragam respon masyarakat bermunculan tentang santernya isu penutupan Dolly, tentu dengan berbagai tanggapan baik itu pro atau kontra. Namun tidak sedikit pula yang kurang tanggap dan peduli perihal penutupan Dolly.

Bagi pihak yang mendukung, tentu Dolly sudah sekian lama menyatu dengan daerah sekitarnya, dan menjadi nafas kehidupan dan pusat ekonomi yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat disana, terutama di Kelurahan Putat Jaya sebagai wilayah tempat bernaungnya lokalisasi Dolly dan Jarak. Dolly sebagia pusat prostitusi tidak dapat dipandang dalam konteks sekadar transaksi antara WTS dan pelanggan saja. Dolly pun sama halnya adalah sebuah sistem yang kompleks. Yang merupakan pertautan antara masyarakat sekitar yang menggantungkan perekonomianya pada sektor-sektor yang berkaitan dan beririsan secara langsung maupun tidak, terhadap bisnis prostitusi tersebut. Siapa saja diantaranya mereka? Tukang parkir, jasa laundry, penjual pakaian, penjual makanan, usaha kelontong, dan lain-lain. bagi masyarakat sekitar, keberadaan Dolly adalah titik tumpu dari peranya sebagai tempat bergantung untuk ladang mata pencaharian. Secara langsung, penggunaan bangunan untuk wisma, pengelolaan bisnis prostitusi yang melibatkan jaringan-jaringan lintas daerah, para mucikari dan pihak ketiga yang turut menikmati keuntungan dari keberadaan daerah lokalisasi menjadikan kawasan Dolly sebagai center of gravity bagi sekitarnya.

Ketergantungan yang diciptakan secara sistematis ini yang mendasari penolakan utama secara faktor-faktor rasional tertentu sementara ini oleh pihak yang berkepentingan. Terlebih, jaminan yang coba diberikan pemerintah dianggap masih sebatas langkah pemanis. Siap tidak? Dari informasi masuk yang dihimpun oleh tim peninjau, dapat diketahui bahwa gelombang penolakan terhadap penutupan Dolly terjadi karena dipandang jika pemerintah hingga kini belum ada upaya konkrit yang mampu meyakinkan pihak-pihak yang bersangkutan lewat jaminan-jaminan sosial-ekonomi ke depan yang jelas. Belum tuntas masalah ganti rugi di lokalisasi yang telah ditutup sebelumnya, kini Dolly akan ditutup dengan menyisakan banyak sekali pertanyaan mengenai pasca-penutupan. yang menjadi kebutuhan masyarakat sekitar prostitusi yaitu, mau diapakan Dolly nantinya ketika pasca-penutupan, dan apakah nanti ada jaminan bahwa konidis ekonomi akan lebih baik setelah tidak adanya aktivitas prostitusi, dan apakah pemerintah sudah memiliki grand design pembangunan ekonomi di kawasan Dolly? Ketidakjelasan ini dan simpang-siurnya informasi yang mendasari masih menguatnya gelombang penolakan terhadap penutupan Dolly. Sudah banyak kajian dan tanggapan tentang Dolly dan kontroversi rencana penutupan. yang belum banyak dipikirkan sekarang bukan lagi itu. Tapi apa yang nanti dilakukan setelah penutupan Dolly, action plan, bukan lagi kontroversi tentangnya.

Langkah-langkah yang perlu dicermati. Pertama, Penutupan Dolly adalah amanat Perda, yang salah satunya bersumber dari Perda No.7 tahun 1999. Itu artinya, pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat sebagai pelaksana kebijakan untuk melakukan penutupan Dolly. Kedua, berkutat pada wilayah pewacanaan dan tanggapan tentang pro-kontra Dolly sebenarnya diperlukan tapi dengan porsi yang seperlunya. Toh dengan atau tanpa adanya civil society, gerakan masyarakat sipil, cepat atau lambat Dolly akan ditutup. Dalam artian perlu adanya paradigm reform atau pengubahan paradigma atau cara pandang terhadap Dolly setelah ini. Pasca-penutupan, apa yang seharusnya diupayakan oleh segenap masyarakat Surabaya. Bukan persoalah apakah kita just appreciate, memberi aplaus kepada mereka yang tergerak untuk membantu. Karena isu dan tema besar tentang Dolly setelah ini pasca ditutup, adalah tentang rupa dan wajah Dolly yang akan diubah nantinya.

Dibutuhkan gerakan sosial yang bertugas untuk konsen pada penanganan dan pemberdayaan pada masyarakat. Dolly, yang berada di Surabaya sudah sepantasnya menjadi perhatian bersama, oleh segenap masyarakat Surabaya khususnya. Banyak yang menaruh harap, bahwa Dolly ke depan bisa diubah wajahnya menjadi pusat kegiatan ekonomi alternative yang lain. semua elemen-elemen sudah mulai ada yang bergerak untuk membentuk platform dan rancangan arah gerak pembangunan dan pengawalan Dolly setelah ini. Dan hal tersebut salah satunya sedang dirancang oleh Elemen Pemuda Surabaya, sebuah aliansi organisasi-organisasi mahasiswa se-Surabaya yang bergerak untuk ambil andil dalam pengawalan Dolly secara holistic. Mulai dari latar belakang permasalahan, penyikapan dan posisi serta peranan mahasiswa, dan juga program yang dapat diaplikasikan nantinya kepada masyarakat di kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak sebagai upaya pembangunan ekonomi secara partisipatif, turun langsung ke masyarakat.

 Sampai hari ini, pihak di Dolly yang bersangkutan terus menunggu upaya jelas dari Pemerintah soal pemberdayaan masyarakat pasca-penutupan. santunan sebagai upaya kompensasi ganti rugi oleh pemerintah tidak akan selesai menjadi solusi, selama tidak ada pemberdayaan yang jelas dan terarah yang akan mampu menopang keadaan ekonomi mereka. Terutama kejelasan nasib pekerjaan setelah nanti lokalisasi ditutup. Ada beberapa sektor utama yang menjadi fokus program terkait pemberdayaan masyarakat di Dolly, kelurahan Putat Jaya. Yang pertama yaitu ekonomi, sosial, kesehatan dan pengajaran. Pelatihan-pelatihan yang direncanakan pemerintah pun memiliki sasaran untuk pemberdayaan pada PSK untuk mencari pekerjaan lain pasca-penutupan. Pada titik ini dibutuhkan panggilan jiwa dan kesadaran kolektif untuk membina konsen dan kepekaan masyarakat terhadap realitas penutupan Dolly, terutama pada pemberdayaan dan program pembangunan ekonomi di kawasan tersebut pasca-penutupan, terutama mahasiswa dan organisasi-organisasinya. Menjelang penutupan Dolly 18 Juni 2014. “Turun Tangan, bukan Urun Angan” – Anies Baswedan @Mercusuar_Unair LPM Mercusuar Unair & Elemen Pemuda Surabaya (EMAS)


 [2] Tergabung bersama organisasi-organisasi mahasiswa se-Surabaya dalam aliansi EMAS (Elemen Pemuda Surabaya) yang memiliki konsen gerakan untuk mengawal penyelesaian permasahalan terkait Dolly (pra & pasca)
On 2:34 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    1 comment
SURABAYA – Rabu (11/6) lalu, bertempat di Gedung Pinlabs Universitas Airlangga, Lembaga Pers Mahasiswa Mercusuar menyelenggarakan diskusi kebangsaan untuk memperingati hari kelahiran pancasila. Bertema “Mahasiswa, Pancasila dan Peradaban”, diskusi kecil yang diikuti oleh beberapa elemen pers fakultas dan aktivis mahasiswa, berlangsung interaktif. Diskusi yang dimulai tepat pada pukul 15.30 tersebut dikatakan molor dari waktu yang dijadwalkan oleh panitia. Ahmad Fahri (21), ketua umum LPM Mercusuar mengatakan bahwa diskusi tersebut diadakan dengan persiapan seadanya. 

Tujuan diadakannya diskusi tersebut adalah untuk mengupas tuntas permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, dan mencoba menemukan kembali jawaban dari semua permasalahan pada Pancasila, Ideologi dan falsafah bangsa Indonesia. Harapannya, setelah diadakannya diskusi tersebut, semangat intelektual mahasiswa dapat bangkit kembali dan menjadi kontribusi besar dengan melahirkan pemikiran-pemikiran baru untuk Indonesia yang lebih baik. Fahrul Muzaqqi(30), Dosen dan peneliti sekaligus pengamat politik dari Universitas Airlangga tersebut diundang sebagai panelis dan memimpin jalannya diskusi. Peserta yang aktif bertanya setelah dipaparkan sejarah dan konsepsi pancasila serta realitas yang ada di dalam masyarakat kekinian, membuat proses diskusi menjadi menarik. Diskusi dua arah terjadi sesuai dengan harapan panitia penyelenggara acara. Pertanyaan-pertanyaan seputar identitas Negara di tengah arus global yang di dominasi budaya dan peradaban barat dilontarkan oleh kawan-kawan pers fakultas dengan kritis. Panelis tidak dengan serta merta menjawab pertanyaan yang diberikan oleh mahasiswa (pers fakultas dan aktivis), namun juga mengajak mahasiswa untuk berpikir. Apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya. 

Diskusi tersebut menggali pemikiran-pemikiran untuk Indonesia di masa yang akan depan. Menemukan kecacatan suatu alat dalam sistem pemerintahan dan memberikan saran yang dirasa tepat. Pada akhir diskusi, panelis menyampaikan bahwa bahwa jika mahasiswa pada jaman orde baru memiliki musuh dan tujuan bersama untuk menggulingkan rezim Soeharto, maka tantangan mahasiswa kini adalah menghadapi dirinya sendiri. 

Kembali diskusi tersebut menghadirkan kaca untuk bercermin, masihkah generasi muda terutama mahasiswa menjadikan pancasila sebagai pedoman hidupnya? Pancasila kini seperti pesakitan yang terbaring lemah ditengah bangsa yang menghadapi permasalahan ketidak setaraan, ketidak adilan, intoleransi dan banyak lainnya. Saatnya kita sebagai generasi muda membangkitkan kembali semangat pancasila. Semangat gotong royong, semangat toleransi, semangat kebinekaan dan hal-hal yang kembali menguatkan pancasila. Quo vadis Indonesia? kitalah sebagai generasi muda yang akan menjawab itu dengan apa yang akan kita lakukan dan dengan pilihan yang akan kita ambil. Akhirnya, diskusi yang berlangsung selama satu setengah jam tersebut ditutup oleh puisi berjudul ‘Di bawah kibaran bendera’ oleh Azila (19). (Redaksi
)
On 2:32 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
SURABAYA (6/6)- Setelah beberapa waktu yang lalu sempat terdengar jika Dolly akan ditutup pada 19 Juni. Informasi terbaru mengabarkan bahwa Walikota Surabaya, Tri Rismaharini,akan menutup tempat prostitusi Gang Dolly lebih cepat satu hari sebelumnya, yaitu pada 18 Juni, tepatnya pada hari rabu. Nampaknya, penutupan Dolly tidak hanya sebuah bentuk keputusan dalam bentuk deklarasi dan fornalitas saja. Pemerintah kota tentu sudah mempertimbangkanya dengan masak. Tetapi apa jaminanya? Sampai hari ini belum ada kejelasan tentang bagaimana grand design pemberdayaan masyarakat pasca penutupan. Mengenai rencana santunan terhadap para PSK-PSK dan Mucikari, bukan menjadi tolak ukur keberhasilan pengawalan pasca-Dolly. Seperti yang diutarakan oleh Dalu Kirom, Sekjen KNPI Surabaya di suatu sesi diskusi, “jika setelah deklarasi penutupan, selanjutnya adalah himbauan kepada yang terkait, dan 1 minggu setelah itu dibagikan duit santunan sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah”, ujarnya. Namun tidak aka nada taken for granted apabila nantinya benar bahwa masyarakat pasca Dolly ditutup dapat secara mandiri berkegiatan ekonomi. 

Mengingat Dolly adalah ibarat pusat ketergantungan dari mayoritas ekonomi masyrakat sekitar. “Banyak yang menggantungkan ekonominya, mulai dari jasa laundry, warung-warung,petugas parkir, dan lainya”, ujar Avisenna, Menko BEM ITS Surabaya. yang jelas,penutupan Dolly sudah menjadi kontroversi di Surabaya sejak lama. Isu mengenai penutupan Dolly bukanlah barang baru, sudah pernah digaungkan bahkan sebelum Walikota terpilih, Tri Rismaharini menjabat. Dari adanya pertentangan antara pihak yang pro dan kotra sekaligus, sebenarnya mengindikasikan bahwa rencana penutupan Dolly beleum menemukan format yang jelas, bahkan belum diketahui mekanisme penutupanya akan seperti apa. Apalagi bicara program pemberdayaanya. Dan penentangan dari yang tidak menghendaki penutupan, menunjukan bahwa hingga kini berarti pemerintah belum benar-benar punya solusi. 

Mengingat Dolly adalah maslaah yang kompleks. Maka benar-benar dibutuhkan keseriusan dari Pemerintah dan kesiapan semua elemen yang mendukung penutupan. Harapanya setelah terdengar begitu lama, penutupan Dolly untuk tahun ini benar-benar konkrit. Tidak hanya itu, keseiusan penutupan juga harus diimbangi dengan upaya pemerintah terutama Kota Surabaya untuk mengkomunikasikan rencana yang jelas kepada masyarakat dan pihak yang berkepentingan. (Redaksi).
On 2:30 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
SURABAYA- Reformasi diperingati setiap tanggal 21 setiap tahunya. Begitupula yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dibawah naungan organisasi Lembaga Pers Mahasiswa UNAIR “Mercusuar”. Karena reformasi merupakan salah satu momen heroic bagi mahasiswa, tentu penting halnya untuk melihat Reformasi secara lebih jauh melalui tinjauan-tinjauan yang komprehensif. Melihat realitas tersebut, maka LPM Mercusuar berinisiatif mengadakan sebuah Refleksi Kebangsaan, bertepatan dengan momen Hari Reformasi pada 23 Mei kemarin. Meski tidak berbarengan dengan Hari Reformasi. Refleksi tetap berjalan bahkan melebihi ekspektasi awal. Acara yang diadakan di Taman Apsari pada Jumat (23 Mei 2014) kemarin mengambil tema khusus : Quo Vadis 16 Tahun. Yaitu mempertanyakan kembali arah Reformasi kontemporer, seperti kondisi sekarang ini. Tujuan diadakanya Refleksi selain sebagai kajian, juga bertujuan untuk mempererat tali silaturahim dengan LPM-LPM yang lain. Refleksi Hari Reformasi kemarin dikatakan cukup semarak. Telah hadir pengurus-pengurus LPM “Satu Kosong” ITS, dan beberapa LPM-LPM Fakultas yang berkesempatan hadir pada malam hari itu. Hadir pula petinggi LPM Insight dari Fakultas Psikologi, LPM Situs dari FIB, LPM Sektor FEB dan LPM Venous FKH UNAIR yang semakin memperkaya diskusi kritis pada momentum tersebut. Bertempat di tengah-tengah Taman Apsari, persisnya di depan patung Gub.Suryo, dan menghadap langsung ke depan Jalan Raya dan Gedung Pemerintahan “Grahadi”. Suasana amat semarak dan ditambah dengan hiruk pikuk komunitas-komunitas pemuda dan geng motor yang bersebelahan langsung dengan acara. Yang berkesempatan mengisi sebagai panelis Refleksi Hari Reformasi yaitu mas Arya W Wirayuda, Dosen Ilmu Sejarah, seseorang yang pernah mengecap dan terlibat dalam dunia pergerakan mahasiswa dan sekaligus Mantan Ketua BEM FIB UNAIR. Beliau memaparkan Reformasi dari sudut historis dan filosofi-filosofi sebagai fenomena dan realitas politik di Indonesia. Alur diskusi semakin matang dan mantap. Mengingat pluralitas dari masing-masing elemen yang hadir dalam Refleksi tersebut. Ada audiens yang memperlihatkan bahwa masalah ekonomi menjadi tugas Reformasi ke depan, selain reformasi Birokrasi untuk mengukuhkan fungsi good governance. Ada pula KKN yang menjadi masalah akut bangsa ini, yang harus menjadi agenda tuntas dalam Reformasi ke depan. Ada pula argument dari rekan LPM ITS yang memaparkan bahwa Reformasi kurang memiliki titik-tiitk dan batasan yang jelas, sehingga dampaknya pelaksanaan agenda Reformasi dan evaluasi hingga kini tidak pernah menemukan titik akan kejelasan. Setelah diskusi intensif selama 2,5 Jam, akhirnya acara ditutup dengan menyanyikan lagu Darah Juang dengan khidmat oleh semua audiens yang hadir dan pembacaan salah satu puisi dari Wiji Tukul (aktivis Reformasi) oleh pihak panitia. (Redaksi)
On 2:27 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
*Menjelang Peringatan Hari Reformasi (21 Mei) 

Ada saat dimana masyarakat mulai terbuka dan berani muncul ke hadapan publik sebagai gerakan sosial. Ada saat dimana semua elemen dalam masyarakat saling bahu-membahu, seiya sekata demi satu tujuan. Ada saat dimana kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dan instrument negara tidak mampu melawan kekuatan dan perjuangan murni people power. Yang disitu peranan masyarakat sipil adalah sangat menentukan terhadap masa depan negara, kebangsaan dan demokrasi sebagai ijtihad menuju perbaikan dan perubahan. 

Reformasi 16 tahun lalu mengesankan banyak kalangan yang masih mengigat persis betapa sakralnya dan gentingnya keadaan saat itu yang mengharuskan adalah perubahan sosial yang sangat signifikan. Reformasi menjadi realitas yang terbentuk karena kenyataan-kenyataan positif di masyarakat dan gejala sosial yang mendorong terbentuknya momentum tersebut. Reformasi dalam Reformasi Reformasi yang sudah terjadi 16 tahun lalu masih terpintas diingatan bangsa Indonesia, bagaimana tidak, reformasi yang melahirkan tatanan masyarakat itu masih membekas semangat perjuangannya. Ribuan keringat menetes, ribuan panji berkibar, ribuan darah mencuat untuk merubah negara ini agar terbebas dari koloni pribumi. Mahasiswa saat itu yang menginginkan sebuah pembaharuan di negeri tercinta ini, melakukan berbagai macam upaya hingga tuntutan mereka tercapai dan terpenuhi. 

Peristiwa reformasi 1998 yang menghasilkan lengsernya rezim beserta presiden berkuasa yaitu presiden Soeharto adalah hasil keringat mahasiswa, tak hanya sekedar tuntutan mundurnya presiden, berbagai tuntutan masih ada sehingga membuat semangat akan merubah kondisi bangsa ini semakin berkobar dan membara. Tuntutan itulah yang membuat mahasiswa terus melakukan pelbagai aksi turun jalan meskipun presiden sudah menyatakan lengser keprabon. Gejolak semangat jiwa raga yang menginginkan bangsa baru lah yang menjadi landasan para mahasiswa untuk terus mengobarkan api semangatnya hingga akhir tahun 1998. 

Massive-nya gerakan mahasiswa dikala itu tak mampu terbendungkan oleh barisan kawalan TNI-Polri. Keinginan mahasiswa akan tuntutan perubahan akan terus membanjiri ibukota sebelum masalah internal dan eksternal negara raksasa ini. Berbagai luapan masalah internal dan ekstenal bangsa ini yang melatar belakangi dikala itu menjadi hantu bagi Indonesia, sehingga memunculkan sikap bagi para pihak, termasuk mahasiswa yang menelurkan sikapnya dengan berbagai tuntutan dan aksi turun jalan/aksi demonstrasi. Beberapa permasalahan negeri tersebut akhirnta terangkum dalam beberapa agenda 6 reformasi yaitu: adili Soehartto beserta oknumnya; bersihkan KKN; otonomi daerah seluas-luasnya; tegakkan supremasi hukum; penghapusan dwi-fungsi ABRI; dan, amandemen UUD 1945. Semua itu dipandang latar belakang masalah Indonesia sehingga melahirkan 6 agenda reformasi tersebut. Diluar 6 agenda Reformasi, masih banyak kerancuan negeri ini yang menjadi bahan tuntutan masyarakat, khususnya mahasiswa yang menjadi agent of change bangsa ini. 

Masalah tingginya harga pokok, inflasi yang tinggi, merosotnya nilai tukar rupiah hingga naiknya nainya harga BBM. Semua itu adalah bagian dari sorotan publik terhadap ngerinya negeri ini dikala itu. Oleh itulah massa dari seluruh penjuru Indonesia melakukan gerakan masal untuk menemukan perubahan yang dapat mencerahkan negeri ini dalam kedepannya. Termasuk mahasiswa yang menjadi promotor dari perisiwa bersejarah yang terekam dalam pembebasan perjalanan hitam bangsa tersebut Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa tidak terpusat dalam satu titik semata. Beberapa pergerakan mahasiswa dengan massa yang besar menyerbu ibukota di beberapa tempat, sehingga membuat para pasukan penjaga dan pengawal negeri ini ketimpangan melihat luapan mahasiswa yang membanjiri Jakarta. Gerakan para mahasiswa terus mengalir dan tak tertampung kawalan oleh tentara dan polisi, lalu timbullah loss-nya mahasiswa dari kawalan dan memasuki beberapa tempat strategis ibukota. 

Terebutnya beberapa tempat penting di ibukota juga, termasuk terebutnya tempat (yang katanya) para wakil rakyat menjadi sebuah momentum karena dengan itu pula presiden Suharto menyatakan untuk mundur dan lengser keprabon. Tempat yang diduduki mahasiswa itupun juga menjadi menjadi saksi perjuangan perjuangan mahasiswa dalam kemenangannya atas gelapnya kondisi bangsa. Menurut mahasiswa-mahasiswa penegak demokrasi di masa itu adalah peristiwa reformasi merupakan awal dari gerakan yang dilakukan mahasiswa kedepannya, bukan sebuah upaya akhir untuk merubah negeri ini. itu seharusnya menjadi cerminan dimana mahasiswa harus tetap aktif dalam mengawal keadaan Indonesia disaat sakit parah. 

 Namun bagaimanakah kondisi dinamisasi gejolak pergerakan mahasiswa jika kita sandingkan dengan gejolak mahasiswa masa sekarang ini. Ironis bila kita amati para mahasiwa hanya diam dan terbungkam oleh keadaan sekarang, mahasiswa yang seharusnya memiliki idealisme tinggi dalam falsafah hidupnya, namun sekarang sudah mulai pragmatis dan apatis terhadap permasalahan yang menggoncang poros negara ini. Urgensi Reformasi Reformasi sebagai sebuah pencapaian, tentu bukan merupakan sebuah tindakan yang berdasarkan garis khayal, atau keajaiban yang terjadi begitu saja. 

Reformasi memerlukan sebuah konsepsi dan kesiapan yang kuat. Dan Reformasi adalah momentum yang diciptakan dengan persiapan dan upaya segenap masyarakat yang menghendaki adanya pergantian rejim. Keberadaan Orde Baru sebagai representasi pemerintahan yang otoriter dan abusif menghasilkan sebuah kondisi yang mengharuskan adanya para reformis yang siap menentang status quo. Kehidupan demokrasi tidak ayal dibatasi ruangnya pada zaman Orde Baru. Tidak ada kebebasan berpendapat, tidak ada ruang publik bagi terciptanya wacana masyarakat yang bebas. Oposisi adalah sesuatu yang sangat tabu. Partai diperkuat sebagai alat untuk mempertahankan rejim pemerintahan. Tidak ayal lawan politik diperketat dan diawasi, pemrotes tinggal menunggu waktu untuk ditindak ataupun lenyap. Banyak sekali kehidupan publik yang dirampas dari ruang yang seharusnya. Meski saat itu konon masyarakat memperoleh kehidupan layak, kebutuhan logistic yang memadai dan kesejahteraan ekonomi akibat limpahan minyak. 

Kaum terdidik adalah yang pertama tersadar bahwa pengelabuan kehidupan berbangsa sebenarnya terjadi tidak dengan kasat mata, nyata akan tetapi dikemas dalam bungkus kesejahteraan. Kebebasan adalah yang paling penting, karena kebebasan menjadi suatu kondisi dimana masyarakat sipil mengambil peran seluas-luasnya dalam kehidupan bernegara. Terjadinya pelanggaran HAM terberat, adalah semasa Orde Baru. Harga mahal yang harus ditebus olehnya, yaitu sebuah momen besar untuk menuju kembali demokratisasi negara yang terus mencari bentuk. Reformasi kemudian dibumikan sebagai satu titik untuk mengembalikan ruh-ruh demokratisasi yang dirampas akibat despotiknya penguasa. Kekuasaan apabila bukan di tangan yang tepat hanya akan berakhir kepada tirani dan pemerintah yang otoriter. Seperti jargon yang menyebutkan power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely adalah bukan sebuah isapan jempol belaka. Supremasi Hukum & Pemberantasan KKN? Agenda Reformasi tentu berisi tuntutan dan harapan serta proyeksi akan pengawalan proses reformasi ke depan sebagai bentuk upaya pembangunan negara yang multidimensional ini. 

Perumusan agenda reformasi adalah sangat penting, mengingat ini terkait dengan visi dan arah gerak yang akan dilakukan oleh negara setelah terjadinya dinamika sosial-politik yang berdampak kepada kehidupan bernegara. Tugas generasi aktivisme hari ini adalah memastikan betul bahwa bentuk pengawalan agenda reformasi memerlukan sebuah kesungguhan dan kontinuitas selepas tujuan mengakhiri tirani itu tercapai. Maka yang menjadi catatan, bahwa pengawalan ini menjadi kunci utama akan tetapi sangat determinatif dalam menentukan kesinambungan arah bangsa Indonesia. 6 poin agenda reformasi masing-masing mencerminkan kebutuhan dan urgensi mengapa reformasi itu perlu dilakukan sebuah bentuk konsolidasi dan penguatan baik institusionalisasi maupun bentukan kultural. 

Yang paling mendesak salah satunya adalah supremasi hukum. Betapa sudah begitu banyak saat itu, pelanggaran HAM yang terjadi. Antara lain penculikan-penculikan aktivis yang memang bersuara lantang menantang kebijakan dan kesewenang-wenangan pemerintah. Tindakan represif lainya termasuk yang dilakukan oleh aparat. Atas nama hukum negara melakukan kebijakan atas nama hukum. Ruang-ruang bebas dibatasi dan diberangus apabila diindikasikan melawan kebijakan pemerintah atau tidak sejalan dengan koridor yang digariskan pemerintah. Ini adalah keniscayaan penyalahgunaan wewenang. Dan hukum sebagai insturmen negara telah diputarbalikkan penggunaanya sebagai alat legitimasi atas aksi-aksi pemerintah saja. Maka tidak mengherankan apabila kemudian HAM beserta seperangkat kemanusiaan lewat hukum negara perlu sekiranya ditegakkan kembali sesuai lajur kebenaran objektif dan posisi rule of the law sebagai prinsip yuridis yang kuat mengatur kehidupan warga negara dengan sebaik-baiknya penerapan. Kehidupan pasca reformasi menitikberatkan terciptanya kondisi keteraturan dalam hukum termasuk kesetaraan semua warga negara dalam hukum. Hukum adalah instrument yang berlaku setara bagi semua kalangan, tanpa pandang golongan, status, jabatan, latar belakang apapun. Kondisi yang demikian disebut dengan equality before the law. Yaitu kesetaraan setiap individu warga negara di hadapan hukum. 

Dengan posisi hukum, melalui pengembalian peraturan ke dalam landasan UUD 1945 dalam kehidupan bernegara, dan pelaksanaan hukum secara holistic yang mengatur baik secara regulative kehidupan warga negaranya agar terciptanya keteraturan. Yang paling penting sebenarnya adalah pelaksanaan instrument hukum oleh warga negara dan penegakan hukum itu sendiri. Sehingga prinsip equality before the law akan berlaku apabila ditegakkanya rule of the law di tengah-tengah masyarakat. Ketika berbicara tentang pemberantasan KKN itu ibarat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Musuh terbesar bangsa ini adalah perilaku dan mindset Korupsi Kolusi dan Nepotisme dalam segi apapun yang banyak dijumpai, pada level apapun dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. KKN adalah cerminan betapa buruknya kondisi bangsa ini dalam segi pelaksanaan birokrasi. 

KKN adalah fenomena sehari-hari dalam masyarakat di Indonesia, yang sangat identic dan sangat lekal keberadaanya. Ketika bicara mengenai Korupsi , maka secara tidak langsung hal ini berkaitan dengan realitas sosial Indonesia sekarang. Korupsi adalah salah satu penyebab mengapa bangsa ini cenderung jalan di tempat, dan adalah faktor mengapa hingga kini negara Indonesia masih sangat jauh tertinggal dengan negara lain. Ibaratnya, KKN adalah duri dalam daging. KKN bukan lagi sebuah hal yang dihindari, tetapi keberadaanya sangat identic dengan kehidupan masyarakat. Korupsi dan bentuk-bentuknya memang tidak dapat dilenyapkan begitu saja dalam waktu singkat. Dari sudut kebijakan publik, mengurangi dan memberantas KKN memerlukan sebuah reformasi institusi yang kuat, dalam hal ini melalui lembaga penegakan hukum. 

Akan tetapi, KKN sudah terlanjur “terlembaga” dalam kehidupan dan menjadi kultur, maka tidak akan cukup dengan hanya elit dan lembaga yang berperan. Sehingga mengatasi KKN sebenarnya dikembalikan dari pengaruh dan penguatan pada level grassroot , yaitu penyadaran yang ada di masyarakat dan melalui saluran dalam internal masyarakat itu sendiri. Yang akan ditopang dengan keberadaan institusionalisasi hukum lewat penguatan fungsi perundangan-undangan. Supremasi hukum kemudian berbicara bagaimana persoalan akut yang sedang dihadapi birokrasi negara dalam segi lini kehidupan dapat segera diatasi, yaitu korupsi. Korupsi lazimnya telah menjadi permasalahan internal yang sangat menggerogoti kehidupan bernegara dalam konteks kekuasaan pada level apapun. Dan birokrasi Indonesia sangat lekat dengan keberadaan korupsi yang sedemikian kuatnya mengakar dari level apapun. Dan penyakit ini salah satunya yang mengancam birokrasi dan kelangsungan kehidupan negara itu sendiri. 

Penegakan hukum juga menyinggung sebuah ijtihad dengan sasaran agar mampu meletakkan fungsi koersif hukum untuk menekan perilaku korupsi dari pejabat dan menciptakan kepatuhan sosial terhadap hukum. Tentu hal tersebut dimulai dari pengusutan terhadap kasus korupsi dalam segi birokrasi pada level apapun. Yang pasti kelak akan menyeret pejabat mulai dari eselon terendah sampai level tertinggi di pemerintahan pusat. Harapanya, institusi penegakkan hukum menjadi tonggak, tumpuan dan kekuatan yang berpegang teguh pada keadilan sejati, seperti kejaksaan, kepolisian dan kehakiman berada dalam garda terdepan pemberantasan korupsi. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa justru penegakkan hukum tidak maksimal karena tidak cukup efektifnya kinerja para penegak hukum; ditambah lagi bahwa institusi penegak hukum belum mampu menangani persoalan budaya koruptif yang ada di dalam internalnya sendiri. Sehingga sangat memprihatinka bahwa lembaga penegak hukum itu sendiri adalah yang juga terdampak dari perilaku koruptif itu sendiri. 

Masyarakat Indonesia sangat bertumpu kepada keberadaan KPK di dalam upaya pengusutan kasus korupsi yang tiada habisnya. Penguatan fungsi institusi ini untuk dapat menjangkau lebih jauh keterlibatan mereka tidak hanya pada level pusat. Bahkan muncul isu mengenai pembentukan KPK di level daerah. Hal tersebut menyiratkan bahwa KPK pun belum cukup mampu berdiri secara optimal di dalam mengusut begitu banyaknya kasus korupsi. Dan kecenderungan tebang pilih dari pengusuatan kasus masih sangat kuat. Tentu KPK sebagai lembaga superbody juga punya kelemahan, yaitu keterbatasan sumber daya. Supremasi hukum yang berarti adalah penguatan fungsi hukum dan penegakan hukum. Secara dalam hal ini, semua elemen harusnya bertanggung jawab dan mengambil andil disini sebagai kesadaran terkait peranan sebagai warga negara yang harus mematuhi aturan hukum. Supremasi hukum bukan dibentuk dan akan berhasil oleh kewenangan elit dan peranan elit penegakan hukum saja, hal tersebut pasti tidak akan cukup. Masyarakat dalam hal ini pun juga punya andil yang sangat besar, bagi pembentukan kesadaran di tengah-tengah mereka. Karena bentuk penyadaran akan sangat efektif terjadi lewat pembentukan-pembentukan di tengah-tengah kehidupan mereka. Maka dari itu, peranan civil society, yang diwakili dengan LSM dan NGO-NGO sangat dinantikan perananya, tidak hanya sekedar keberadaanya. 

Dalam masyarakat demokrasi, sebagaimana dinantikan banyak orang, dan berpeluang untuk semakin mengarah pasca terjadinya reformasi seperti sekarang ini. Tolak ukur keberhasilan demokrasi adalah saat masyarakat sipil mengambil andil yang sangat besar dalam kehidupan bernegara. LSM-LSM disini mengambil peran sebagai gerakan kampanye penegakkan hukum, atau law enforcement terlepas dari penegakan secara peraturan lewat elit-elit. Sehingga, supremasi hukum, adalah tanggung jawab kolektif. Tinjau Penerapan Otonomi Salah satu tuntutan lainya yang paling keras disuarakan ketika reformasi berlangsung, dan termasuk juga dalam salah satu agenda reformasi, adalah tuntutan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Tuntutan atas pemberian otonomi kepada daerah-daerah dilatarbelakangi oleh kenyataan sebelumnya bahwa yang terjadi di pemerintahan Orde Baru mengabaikan kondisi daerah, terutama dalam aspek kesejahteraan, pembangunan, sumber daya dan pemerataan. 

Orba sangat fokus untuk mengeruk keuntungan dari daerah demi kepentingan di pusat. Dan pembangunan yang cenderung diintensifkan di Jawa daripada daerah-daerah yang lainya. Dasar ini yang menyebabkan kecewanya elemen masyarakat dan masyarakat secara umum di derah-daerah. Gambaran mengenai Indonesia sebagai satu entitas dan bentangan yang luas, harus mewajibkan terlaksananya pembangunan dan pembagian kesejahteraan yang merata di semua daerah, tidak hanya di Jawa, apalagi Jakarta. Bentuk traumatis seperti itu yang kemudian melatarbelakangi kemunculan Otonomi Daerah. Karakteristik dari Otonomi Daerah yaitu berkurangnya control pusat. Sehingga daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri dalam domain tertentu. Pemerintahan yang terlalu terpusat dalam sejarahnya memang tidak pernah baik. Karena dalam hal ini semua kewenangan, dan kondisi serta permasalahan ditangani sepenuhnya oleh tangan-tangan dari pusat. Yang itu belum tentu sesuai dan cocok dengan tipologi dan kondisi daerah tersebut. Semuanya bergantung kepada taken for granted dari pusat. Dan tidak jarang pemerintah pusat tidak hadir di saat masalah-masalah di daerah muncul dan pusat tidak akan mampu menangani permasalahan secara holistic di daerah karena keterbatasan jangkauan. 

Peran pemerintahan daerah diperlukan dan diberikan seharusnya dalam domain tertentu. Sehingga ada pembagian peran mana yang merupakan kewajiban pusat, dan mana yang merupakan tanggung jawab Pemda. Otonomi dibutuhkan negara, karena pelaksanaan kebijakan bergantung dari level-level, seperti pusat dan daerah, dan diperluka pembagian yang jelas. Untuk melaksanakan fungsi kebijakan yang efektif. Selain itu, otonomi memberikan ruang kepada daerah untuk mengelola SDA nya secara mandiri, selain itu juga dari segi birokrasi dan beberapa pengelolaanya, yang diharapkan bahwa daerah-daerah dapat mandiri. Akan tetapi bukan sepenuhnya diserahkan kepada daerah tanpa adanya peranan pusat disitu. Otonomi berarti pemberian wewenang kepada daerah akan tetapi tidak mutlak sepenuhnya pusat tidak campur tangan. Otonomi perlu dibedakan dengan konsep federal. Karena dalam otonomi tetap menekankan fungsi integrasi nasional, berbeda dengan federasi yang terkoneksi secara kordinatif antara pusat dan daerah. Konsep federasi adalah kewenangan daerah yang lebih menguat, ketimbang peranan pusat. Sehingga intervensi pemerintah pusat sangat minim sekali. Tetapi Otonomi Daerah menekankan fungsi aparatur daerah secara pengelola, bukan pelaksana sepenuhnya semua ranah kebijakan. Namun gagasan ideal dengan pelebaran kewenangan terhadap pemerintah daerah tidak serta merta menguatkan fungsi birokrasi di daerah. 

Dampak-dampak Otda kemudian tidak jarang melahirkan masalah-masalah yang sebenarnya pernah ada ketika zaman Orba, bahkan cenderung menguat. Yang pertama, Otonomi Daerah belum tentu cocok diterapkan di semua wilayah di Indonesia. Mungkin untuk beberapa daerah pelaksanaan Otda efektif, akan tetapi tidak sedikit wilayah di Indonesia yang tidak mampu menjalankan fungsi Otonomi Daerah dengan baik. Dan bahkan kelimpungan dan kesulitan sendiri dan membutuhkan peranan pusat lebih jauh. Karena Otonomi Daerah berbicara mengenai pengelolaan secara mandiri, belum tentu semua wilayah sudah memiliki kesiapan untuk melaksanakan semua level kebijakan pada ranah apapun dengan tupoksi dan lajur yang benar. 

Yang kedua, pelaksanaan Otonomi Daerah semakin membuka mata lebar-lebar budaya koruptif dan budaya politik dalam masyarakat. Otonomi daerah memberikan peluang bagi elit-elit lokal untuk membentuk suatu korporasi dan lingkaran-lingkaran kekuasaan secara permisif, elit, ekslusif dan terbatas. Pola-pola seperti ini yang diberikan oleh demokrasi di Indonesia, ruang yang sangat luas oleh Otonomi Daerah memberikan akses bagi mereka untuk menciptakan lingkaran kekuasaan yang sangat dominan di daerah. Dan ini adalah tidak melanggar rule of the law dari ketetapan hukum negara/hukum di pusat. Sehingga, demokrasi yang memberikan ruang bebas untuk partisipasi cenderung mengafirmasi bentuk-bentuk oligarki. Dan oligarki semakin menguat keberadaanya karena format Otonomi Daerah memberikan kesempatan bagi mereka untuk terbentuk dan menguat di daerah-daerah. Dari segi kewilayahan, pola-pola oligarkis ini sudah ditemukan di beberapa wilayah, seperti di Madura dan Provinsi Banten, elit-elit lokal cenderung merupakan orang dalam lingkaran yang sama dengan oligarki di daerah tersebut. Ini adalah paradoks dari otonomi, yang malah justru menjadi ibarat simalakama dari demokrasi di era reformasi ini. 

Keterbukaan dalam kanal aspirasi dan partisipasi diharapkan mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi warga negara untuk terlibat dalam pembangunan kehidupan bernegara secara bersama-sama. Akan tetapi bentuk demokrasi di Indonesia yang cenderung kepada oligarki dan politisasi oleh elit justru semakin menguat di era reformasi ini, terutama karena kewenangan dan akses yang diberikan secara tidak langsung oleh keberadaan Otonomi Daerah. Dan oligarki kekuasaan pada konteks apapun selalu dekat dengan budaya korupsi dan perilaku korupsi. Jadi oligarki adalah fenomena demokrasi kontemporer di Indonesia, yang justru semakin menguat pasca kejadian reformasi. Maka dari hal ini, peranan institusi penegak hukum dan partisipasi masyarakat dalam gerakan penyadaran maupun media massa akan menjadi penting sebagai social control yang berfokus pada tujuan untuk mendesak transparansi di pemerintah daerah, sebagai bukti konkrit kepada publik dan bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan Otonomi Daerah selama ini. Posisi Gerakan Mahasiswa Lantas, yang diharapkan bagi gerakan mahasiswa sekarang, adalah tidak hanya berhenti pada tataran konsepsi, tidak kemudian stagnan dalam tataran wacana. Namun kesadaran untuk menumbuhkan partisipasi lewan pembentukan-pembentukan di lingkup kampus adalah urgensi gerakan mahasiswa saat ini. 

Reformasi adalah karya nyata oleh gerakan mahasiswa. Dalam hal ini tentu tidak hanya sebagai tanggung jawab moral, tetapi merupakan kewajiban sebagai intelektual-organik mengharuskan mahasiswa senantiasa konsisten dalam perananya mengawal sampai sejauh mana kebijakan pemerintah dan kecenderungan kultur dalam level negara, maupun daerah berpihak kepada agenda reformasi. Selain itu juga mengawal agenda reformasi sesuai dengan caliber dan kapasitas kemampuan sebagai mahasiswa. Yaitu mengupayakan integritas, kejujuran dan tindakan yang mencerminkan dukungan terhadap pelaksanaan 6 poin dalam agenda reformasi. Yang tentu berkaitan dengan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Karena agenda reformasi adalah pengejawantahan dari tuntutan rakyat kepada negara dan pemerintah. Fungsi sebagai control sosial tidak hanya sekedar dalam gerakan euforia unjuk rasa, akan tetapi memerlukan metamorfosis dalam membentuk ragam gerakan lainya yang terus berupaya untuk menyesuaiakan format gerakan mahasiswa era kontemporer seperti sekarang ini. Mengkritik, harus juga diimbangi dengan kemampuan untuk take action. 

 Oleh : LITBANG LEMBAGA PERS MAHASISWA “MERCUSUAR” UNAIR @Mercusuar_Unair
On 2:25 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
Indonesia memasuki masa-masa transisi semenjak reformasi bergulir dari 16 tahun yang lalu hingga saat ini. Tantangan Indonesia ke depan tidak hanya terletak pada aspek politik, ekonomi, hukum,sosial budaya. Akan tetapi yang menjadi konsen utama salah satunya yaitu mengenai kepemimpinan nasional. Sekarang, bangsa Indonesia harus mulai untuk berpikir lebih jauh tentang figure alternative yang berkaitan dengan kepemimpinan ke depan. Nama-nama sudah mencuat ke publik sebagai kandidat pemimpin Indonesia selanjutnya. Proses Pencarian Pemimpin melalui ajang Pilpres beberapa bulan mendatang tidak akan mampu menjawab tantangan krisis kepemimpinan multidimensi bangsa Indonesia dewasa ini. Perlunya (kembali) melakukan jejak telusur terhadap local wisdom dari beberapa tokoh yang bisa kita ambil pelajaran berharga darinya.

Krisis Kepemimpinan Memang pada akhirnya kepemimpinan nasional ditentukan dari upaya selektif dan melalui serangkaian proses politik, yang menjadi wadah inkubasi elit-elit pemimpin di Indonesia. Kita tidak serta merta menampik proses tersebut, akan tetapi fakta menunjukan bahwa negeri ini sedang memasuki krisis kepemimpinan. Yaitu sebuah kondisi ketika tidak banyak elit-elit yang muncul ke permukaan sebagai figure yang kapable dan mendapat dukungan masyrakat luas. Sebagian elit politik adalah warisan dari Orde Baru. Dan cerminan mental korupsi dan kejahatan masa lalu adalah sangat melekat dengan mereka. Sementara itu, masa sekarang belum mampu untuk membuktikan proses demokrasi berhasil mencetak pemimpin dan figure-figur baru yang lahir dari proses kepemimpinan yang panjang.

Tentu hal ini merupakan paradoks, karena dalam sejarahnya Indonesia tidak pernah kekurangan figure yang ada untuk memimpin dan tidak jarang kemudian perananya berhasil. Seperti Hatta, Soekarno, Syahrir, Tan Malaka, Natsir adalah contoh-contoh betapa bangsa ini pernah menjadi bangsa yang berhasil mencetak pemimpin-pemimpin. Maka dari itu penting halnya untuk kemudian mempelajari kembali hakikat kepemimpinan dan sejarah kepemimpinan mereka agar generasi sekarang menjadi sadar dan mawas diri dengan krisis kepemimpinan yang sedang dihadapi bangsa ini. Yang ingin dibahas dalam hal ini adalah Soekarno dan Tan Malaka. Soekarno adalah salah satu pemimpin Indonesia yang pernah mendunia, karena kharismatiknya, ketegasanya dan kepemimpinanya. Beliau adalah presiden pertama Republik Indonesia.

Ketika kita berbicara mengenai Soekarno, maka tentu teringat masa-masa genting yang bersejarah dan menentukan masa depan Indonesia. Soekarno adalah proklamator sekaligus pemimpin PNI, salah satu gerakan yang berperan penting memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajahan asing. Soekarno adalah satu-satunya pemimpin di Asia di era modern yang mampu menyatukan masyarakat dari latar belakang etnik, agama, budaya yang berbeda-beda tanpa pernah sekalipun menumpahkan darah. Sedangkan Tan Malaka. Hampir sebagian besar namanya ikut tertelan dan menghilang bersama dengan keberadaanya yang misterius hingga saat ini. Hanya beberapa kalangan saja yang masih mengingat dan mengenang jasa-jasanya.

Tan Malaka adalah salah satu pejuang kemerdekaan yang dihempas dan terlupakan oleh sejarah. Perananya menentukan arah revolusi bangsa Indonesia menuju masa-masa kemerdekaan. Tindakanya berdampak kepada munculnya gerakan sosial yang massif yang bermuara kepada satu suara tentang kemerdekaan dari keterjajahan. Tan Malaka adalah pemimpin partai PP (Persatuan Perjuangan) dan pernah menjabat sebagai perwakilan Komunis Internasional di Asia Tenggara. Tan Malaka, sebenarnya adalah founding father dari Indonesia. Alasan munculnya nama “Indonesia” berawal dari gagasan Tan Malaka. Semenjak saat itu mulai booming penggunaan kata “Indonesia” sebagai entitas kebangsaan. Filosofi Gerakan Antara Soekarno dan Tan Malaka adalah pemimpin bangsa yang tumbuh di tengah kondisi bangsa saat itu yang berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Keduanya di kemudian hari menjadi pemimpin bangsa dalam jalur-jalur dan metode gerakanya sendiri-sendiri dan dalam perbedaan tertentu. Soekarno beraliran nasionalis, sedangkan Tan Malaka kental dengan pemikiran Marxis, meski tidak bisa dipungkiri semangat nasionalisnya sangat kuat. Soekarno berkembang dalam didikan HOS Tjokroaminoto, seorang reformis yang kemudian menjadi guru dan inspirasi bagi pijakan kepemimpinan Soekarno di kemudian hari. Seperti kata pepatah “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonya”.

Soekarno terbentuk dan membina dirinya dengan filosofi nasionalisme yang sangat kental, beserta semangat pluralism dan keinginan kuat untuk menyatukan perbedaan yang ada. Perasaan tentang kebangsaan yang luas, bahwa tidak ada lagi Jawa, Sumatra, Aceh,Bali, akan tetapi satu bangsa : Indonesia. Beliau adalah salah satu orang yang berpegang teguh terhadap pendirinya untuk selalu memperjuangkan kesatuan bangsa dan perdamaian tidak hanya Indonesia, namun kawasan sekitarnya bahkan dunia. Indonesia, di bawah Soekarno adalah inisiator Gerakan Non-Blok, sebuah poros baru yang tercipta di tengah-tengah pertarungan dua blok besar : AS dan Uni Sovyet saat itu. Perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni dunia, terutama kapitalisme adalah yang dibawa oleh Soekarno dalam kepemimpinanya. Tan Malaka dalam memandang negara menyajikan hal yang berbeda.

Kepemimpinan Tan Malaka tidak terlihat pada situasi yang menguntungkan, melainkan masa-masa sulit menuju kemerdekaan. Nasionalisme digerakkan oleh kelompok-kelompok sosial, kedaerahan dan pemuda yang bertujuan sama di dalam menegakkan kesatuan dan perjuangan kemerdekaan. Maka dengan semangat revolusioner tersebut Tan Malaka menghimpun semua Ormas yang ada ke dalam satu wadah Persatuan Perjuangan (PP). Sebuah instrument perjuangan yang kolonialis. Persatuan Perjuangan sangat identik dengan prinsip non-kooperatif dengan penjajah (saat itu Belanda), maka PP mendapat apresiasi yang sangat kuat dari golongan pemuda-pemuda, terutama kelompok kiri seperti PKI dan PS (Socialist Party) yang rata-rata memegang basis massa yang konsisten. Sebelumnya Tan Malaka adalah agen Komunis Internasional (Komintern) dan penghubung Komintern di wilayah Asia Tenggara, sebuah prestasi luar biasa untuk seorang pemuda dalam kondisi dan pencapaianya saat itu.

Akan tetapi banyak sekali pemikiran Tan Malaka yang revolusionis akan tetapi anti terhadap kompromi dengan Belanda, sedangkan saat itu Kominter mengharuskan garis instruksi untuk bekerjasama dengan penjajah. Di saat yang sama ini berkaitan dengan garis perjuangan komunis di Indonesia lewat PKI. Pertentangan ini di kemudian hari menjadi perpecahan antara kubu Tan Malaka yang anti kompromi dengan PKI dan Komintern yang sepakat lajur pro-Belanda karena pada saat itu yang dihadapi adalah sama : fasisme. Sedangkan Tan Malaka sekaligus kurang disukai di kalangan nasionalis yang cenderung sepakat untuk berkompromi sebagai sarana untuk memudahkan tercapainya keuntungan dan mempercepat kemerdekaan. Maka mulai saat itu Tan Malaka adalah musuh bersama sekaligus antara Komintern, PKI dan pemerintah Kolonial Belanda serta golongan nasionalis.

Karakter & Tipe Gerakan Soekarno dikenal sebagai orator yang handal, seorang pandai untuk mengolah kata-kata menjadi bahasa dalam komunikasi efektif yang mampu membius dan mempengaruhi orang banyak lewat orasi-orasinya. Dan Soekarno kemudian adalah orang yang mampu menjadi figur publik. Sedangkan Tan Malaka, dalam garis perjuanganya, adalah seorang propagandis, ahli propaganda dan strategi gerilya yang handal. Gerakanya secara langsung maupun tidak menjadi penopang kekuatan gerakan kelompok-kelompok Indonesia di dalam mencapai dan mempercepat terjadinya kemerdekaan. Namun tidak dalam konteks di permukaan atau yang terlihat, melihat berpola underground movement. sehingga sosoknya tidak dikenal sebagai figure dan condong menjadi orang di belakang layar.

Karakter kepemimpinan mereka dinilai dari beberapa sudut pandang. Soekarno memiliki karakter yang lekat dengan idealismenya mengenai persatuan, kemandirian dan nasionalisme. Akan tetapi gaya kepemimpinanya semakin lama terbawa kepada pola yang otoriter, yang harus sesuai dengan kebijakan dan garis koridor keinginanya. Sedangkan Tan Malaka, tidak banyak literature yang menyebutkan gaya kepemimpinan Tan Malaka. Akan tetapi keberhasilan Tan Malaka di dalam menghimpin kelompok-kelompok dalam satu tujuan untuk memperjuangkan nasionalisme dan kemerdekaan, mencerminkan kemampuan persuasive dan tipe sebagai agitator yang handal. Tetapi tetap Tan Malaka adalah idealis sejati yang tidak mengejar ambisi ke dalam kekuasaan. Demikian secuplik narasi dari analisis, semoga dapat memberikan manfaat. Intinya, bahwa kepemimpinan nasional akan bergantung dari bagaimana proses mengenai pembinaan kepemimpinan orang tersebut, dan bagaimana faktor lingkungan dan kondisi sekitar mendorong pembentukan pola kepemimpinan. Dengan mempelajari sedikit dari beberapa tokoh tentang kearifan dan kepemimpinan mereka, kita dapat menjadikan hal tersebut pijakan sebagai pembelajaran untuk bekal memimpin masa depan.

 Oleh : LITBANG LPM MERCUSUAR UNAIR @Mercusuar_Unair