Lembaga Pers Mahasiswa

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” ― Pramoedya Ananta Toer

Thursday, November 20, 2014

Kunjungan redaktor LPM Mercusuar Unair  ke Tempo Biro Surabaya, mendapat sambutan baik dari mbak Endri dan rekannya. Kegiatan sharing bersama Mbak Endri dilaksanakan di ruang redaksi Tempo Biro Surabaya. 




Wednesday, November 19, 2014


Inilah suasana kunjungan Lpm Mercusuar Unair ke Jawa Pos yang di sambut baik oleh Bapak Abdul Rahim. Banyak cerita yang di ungkapkan oleh beliau mengenai proses tersebarnya koran Jawa Pos dari proses pengumpulan berita, layouting, photografer, hingga proses pemvalidasi berita yang akan di cetak.





Banyak saran yang membangun dari beliau mengenai buletin Lpm Mercusuar Unair 


Selain di beri saran yang begitu embangun, kami juga di ajak berkeliling dan berkenalan di setiap bagian liputan seperti bagian olahraga, iklan, metropolis, deteksi, dan masih banyak lainnya



Tuesday, November 18, 2014

Buletin bulanan LPM Mercusuar Unair dapat diunduh di Buletin November
Selamat membaca, Salam Persma!

Friday, November 14, 2014


Surabaya – Universitas Airlangga menjadi saksi even musik jazz terbesar di Indonesia, The 37th Jazz Goes To Campus (JGTC). Even yang dimulai dari jumat (14/11) sore hingga malam tersebut merupakan kerjasama BEM FE Universitas Indonesia dan BEM Universitas Airlangga. Kehadiran Idang Rasjidi Syndicate sebagai bintang tamu membuat suasana malam JGTC semakin meriah oleh para penikmat musik jazz. The 37th Jazz Goes To Campus tersebut diselenggarakan bukan hanya untuk menghibur penikmat musik jazz, namun juga memberikan edukasi bagi masyarakat tentang musik jazz yang tidak hanya bisa dinikmati kalangan elit, namun juga seluruh masyarakat.
Surabaya –  Sekilas tidak ada yang berbeda dari areal BPPNFI di Jl. Gebang Putih No 10, Sukolilo Surabaya.  l. Namun apabila diamati di pojok kanan gerbang, terdapat satu banner sambutan “Selamat datang kepada peserta seminar kebangsaan”. Siang (14/11) pukul 13.00, beberapa anggota LPM Mercusuar memenuhi undangan dalam kehadiranya pada Seminar "Memaknai Keindonesiaan dengan Mengoptimalkan Kearifan Lokal sebagai Gerakan Sosial" yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah IPPI (Ikatan Putra-Putri Indonesia) Regional Jawa Timur. Di dalam areal BPPNFI yang merupakan kependekan dari Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal Dan Informal ini telah menghadirkan berbagai utusan dari institusi-institusi. Mulai dari pengamat, akademisi sampai tokoh-tokoh pemuda dan juga beberapa representasi organisasi mahasiswa. Telah hadir pula perwakilan dari beberapa kelompok Karang Taruna dan KNPI Jawa Timur

Thursday, November 13, 2014

berikut adalah secuplik pendapat dan komentar dari beberapa mahasiswa UNAIR yang sempat diwawancarai oleh tim kami (LPM Mercusuar) terkait kebijakan terbaru rektorat mengenai peraturan Parkir terbaru. seperti apa komentar mereka? Check This out!!

Wawancara 1

Wawancara II

silahkan sampaikan tanggapan anda di kolom komentar.

Monday, November 10, 2014

On 12:09 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments


10 November bukan hanya sekedar seremoni mengenang romantika sejarah yang gemilang dengan pengorbanan heroik para pahlawan yang tak terkira jumlahnya. Bukan juga sekedar peristiwa yang harus diketahui dan diulang-ulang setiap mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Hari dimana Agresi Militer Belanda 1 itu berakhir merupakan alasan kedamaian dan keamanan kita menginjak tanah Surabaya, juga Indonesia, hari ini. Hari itu bukan hanya milik Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo, tapi juga milik seluruh pemuda pemudi Indonesia yang dengan gagah berani menghadapi mati demi satu tujuan pasti: Merdeka. Darah yang telah menyiprat ke setiap inci tanah ini, kini telah kering dan tertutupi aspal serta bangunan-bangunan. Sejujurnya aku tak tahu apa yang mereka kehendaki untuk aku lakukan setelah perjuangan mereka berakhir berpuluh tahun lalu itu. Saat kutatap tempat mereka bersemayam, aku bertanya, “Apa yang mereka inginkan setelah kemerdekaan berhasil direbut?”. Jika mereka masih bisa menjawab, mungkin mereka akan bilang bermacam-macam, seperti kesejahteraan rakyat, persamaan hak, sembako murah, kesempatan sekolah, politik yang jujur dan bersih, keadilan, dan lainnya. Atau mungkin hanya sebuah harapan kecil untuk melihat bendera berwarna merah dan putih berkibar bebas di tanah ini. Entahlah. Aku tak sempat bertanya. Aku hanya tahu mereka hanya pernah memekikkan satu kalimat, “Merdeka atau Mati.”
Sebuah kutipan yang selalu kuingat (namun sayangnya kulupakan si pembicara) mengatakan, setiap manusia ditakdirkan hidup untuk memainkan sebuah peran di dunia. Apa peran itu, hanya Tuhan dan kita kelak yang akan tahu. Bagiku mungkin para pahlawan dahulu itu memang ditakdirkan untuk menjadi pejuang kemerdekaan, kemudian setelah perannya berhasil dia pentaskan dengan baik, pertunjukkan pun berakhir. Para aktor kembali ke balik panggung yang gelap. Semua yang ada, kembali pada ketiadaan. Mungkin itulah alasan mengapa para pahlawan hanya memekikkan kalimat “Merdeka atau Mati” karena mereka hidup hanya untuk memperjuangkan kemerdekaan, kemudian mati setelah tujuan itu tercapai. Kini pertanyaan pun muncul dibenakku dan mungkin harus kita renungkan, kalimat apa yang akan kita pekikkan sebagai tujuan hidup kita?
On 7:18 AM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments


Mahasiswa adalah intelektual muda dengan ide-ide baru yang masih segar, juga pemikir baru dengan idealisme yang masih dijunjung tinggi. Itulah mengapa mahasiswa disebut sebagai agent of change, agen perubahan. Berdiri diluar sebuah sistem pemerintahan dan masyarakat, pemikiran-pemikiran yang kritis mulai lahir dan menggerakkan masyarakat menuju arah yang dirasa lebih baik, serta melakukan kontrol terhadap pemerintahan. Aktivis mahasiswa yang tidak hanya duduk diam di dalam kelas dan belajar, namun menaruh perhatian pada kehidupan disekitarnya. Dari tahun ke tahun, generasi ini tumbuh menjadi generasi yang acuh dan egois. Mengesampingkan tanggung jawab sosialnya untuk mengejar nilai di atas kertas. Mahasiswa kemudian menjadi jauh dengan rakyat, tempatnya berasal. Asing satu sama lain. “Mahasiswa bukan bagian dari kami.”
Ada segelintir kecil mahasiswa yang masih peka dan peduli dengan permasalahan-permasalahan disekitarnya. Mereka berdiri di depan gedung-gedung pemerintahan, menyuarakan protes dan pemikirannya dengan toa agar mampu didengar. Mereka masih ada, orator-orator  yang berani itu masih ada di depan mata. Yang menjadi sangat langka adalah pemikir yang lebih berani dari orator. penulis yang menelurkan pemikirannya menjadi tulisan, yakni penggerak yang langsung menembus kepala orang-orang dengan gagasan dan pemikirannya. Suara hanya mampu terdengar saat itu, namun tulisan ‘abadi’. Soe Hok Gie menjadi dikenal banyak mahasiswa bahkan bertahun-tahun setelah kematiannya. Ini karena dia menuliskan pemikirannya. Tulisannya mampu membawa orang-orang menyelami pemikirannya, untuk itu Soe Hok Gie masih hidup hingga saat ini. Namanya masih disebut-sebut dalam diskusi-diskusi mahasiswa, bahkan dalam forum lintas disiplin ilmu. Dan kepada generasi ini, dimana menulis tidak lagi menjadi budaya, apakah generasi intelektual ini akan menua bersama umur dan mati bersama jasadnya?
Sebagai generasi televisi dan berbagai macam sosial media, generasi ini dimanjakan oleh perkembangan teknologi, dibuai oleh informasi yang terus datang dari segala arah, kita diuji dengan kemalasan, begitupun yang menjangkiti mahasiswa saat ini. Kondisi inilah yang menjadi nazak intelektualitas, dimana sebuah generasi begitu dekat dengan kematian budaya menulis, membaca, dan berdiskusi. Hal ini dapat dilihat dari keaktifan pers kampus dan fakultas, salah satu cerminan dari pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa. Juga perpustakaan yang mulai sepi, atau bahkan ramai namun bukan pada fungsi utamanya, melainkan sebagai tempat nyangkruk dan istirahat saat jeda kelas, atau bahkan sarana berburu wifi dan ‘amunisi’ gadget. Jika virus ini terus menjangkiti mahasiswa, kita tidak akan meninggalkan apa-apa pada generasi selanjutnya, tidak akan dikenang atau bahkan dikenal. Dan pada saat yang bersamaan, mereka akan bertanya apakah generasi kita pernah ada? Ahalla Tsauro, Wakil Divisi Redaksi LPM Mercusuar, saat memberi materi peliputan berita dalam acara Upgrading berkata, “Kalau Descartes berkata je pense donc je suis, yang artinya aku berpikir maka aku ada, sekarang ganti je vous écris donc je suis, aku menulis maka aku ada.”
Semoga dengan ini, budaya menulis, membaca, dan berdiskusi dalam mahasiswa akan hidup kembali. Menciptakan generasi mahasiswa dimana buku, e-book, dan jurnal menjadi konsumsi rutin. Generasi mahasiswa dimana pers mahasiswa hidup dan aktiv untuk terus menghasilkan buletin dan majalah yang kritis. Generasi mahasiswa dimana pemikiran-pemikiran mahasiswa mengisi kolom-kolom opini buletin nasional. Generasi mahasiswa dimana sosial media merupakan sarana untuk bertukar gagasan dan pikiran-pikiran kritis. Hanya dengan itu ide dapat memiliki kaki, berjalan-jalan dipikiran pembaca, dan menembak ratusan bahkan ribuan kepala. Hanya dengan itu generasi ini akan ‘abadi’, tidak lantas mati bersama jasadnya.
(Ditulis Oleh, Chusnul Chotimmah, Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Airlangga dan Sekretaris Umum LPM Mercusuar Universitas Airlangga)
On 7:03 AM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments


Hari Pahlawan diperingati pada tanggal 10 Nopember tiap tahunnya. Pada hari itu di pusat kota Pahlawan acara seremonial makin menggema. Tiap tahun semakin banyak acara meriah yang diperingati. Parade juang, upacara, kewajiban mengibarkan bendera merah putih, aksi-aksi teatrikal dari berbagai komunitas, mengunjungi makam pahlawan, dsb.  Namun yang menjadi masalah klasik tiap tahunnya tetaplah sama. Apakah 10 Nopember hanyalah aksi seremonial belaka ataukah sebuah peringatan bagi kita untuk kembali berjuang sesuai dengan nilai-nilai kepahlawanan ?
Nilai-nilai kepahlawanan
Rela berkorban demi bangsa dan negara merupakan hal yang paling esensial ketika merujuk kata pahlawan. Pejuang dulu banyak yang berkorban secara fisik. Mereka rela mempertaruhkan nyawa di medan perang untuk mencapai keinginan bersama berupa kemerdekaan. Kepentingan negara seringkali didahulukan daripada kepetingan keluarga sekalipun. Mereka rela melakukan apapun demi membela negara Indonesia tercinta. Selain dalam bentuk fisik pengorbanan juga dilakukan dalam bentuk pemikiran. Pemimpin dan "arsitek" pembentukan negara seperti Ir. Soekarno, Muh.Yamin, M. Hatta, Tan Malaka adalah segelintir pemikir-pemikir era perjuangan. Sama pentingnya seperti peperangan dalam bentuk fisik. Karya dan tulisan yang mereka buat telah membangkitkan semangat rakyat Indonesia dan juga mendidik bangsa akan pentingnya kemerdekaan.
Mereka yang disebut pahlawan dahulu juga mempunyai sifat berani untuk menentang penjajahan, menentang sekutu, walau hanya dengan modal senjata secukupnya. Sebilah bambu maupun dengan tangan kosong tak menghalangi para pejuang untuk tetap berperang membela tanah air. Rasa dan keinginan untuk merdeka, untuk kebaikan bangsa jauh mengalahkan rasa takut terhadap musuh yang mempunyai persenjataan lebih lengkap. Lalu, rasa ikhlas juga menjadi pelengkap nilai-nilai kepahlawanan. Ikhlas berarti secara tulus memberi pertolongan kepada sesama, merelakan sebagian yang dimiliki, serta jujur dalam perkataan dan perbuatan. Tanpa rasa ikhlas tanpa pamrih tentu saja pahlawan tak akan mampu untuk berperang. Rasa ikhlas menumbuhkan rasa semangat rela berkorban, berani menentang musuh, melawan penjajah sehingga cita-cita bersama dapat tercapai yaitu kemerdekaan.
Kepahlawanan Kini
Pertanyaan yang mengemuka saat ini adalah apakah nilai-nilai kepahlawanan itu masih ada ? Ketika kita melihat media televisi maupun online pemberitaan utama adalah seputar kasus korupsi, kisruh DPR, perebutan kekuasaan, kejahatan, pencurian, dan berbagai pemberitaan negatif lainnya. Beberapa orang coba untuk berkuasa di wilayahnya sendiri, ataupun di pusat dengan cara-cara yang tidak dihalalkan. Suap menyuap sering terjadi di seluruh sistem pemerintahan. Seolah menjadi hal yang lumrah, suap terjadi mulai dari kepolisian, pemerintah daerah, pusat, kementerian, dan lembaga-lembaga pemerintah lain. Pelakunya tidak hanya elit pemerintah, bahkan masyarakat biasa pun melakukannya. Semisal memperoleh SIM lewat "jalan belakang" dengan membayar lebih kepada oknum terentu. Hal ini tentu saja tidak mencerminkan nilai-nilai kepahlawanan.Dimana rasa rela berkorban? Rasa ikhlas? Berani untuk membela kebenaran ? Apakah semua orang menjadi negatif seperti itu ?
Namun, penulis disini memiliki kepercayaan bahwa tidak semua orang seperti itu. Masih banyak pribadi yang memang menjadikan hidupnya menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Dunia ini pasti juga diisi dengan orang-orang baik. Masih banyak rakyat yang rela berkorban, iklhas, berani untuk membela kebenaran, serta mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Sudah sering kita dengar capaian anak Indonesia yang sering berprestasi dalam olimpiade tingkat internasional. Mereka ini adalah pahlawan-pahlawan era saat ini. Dalam lingkup yang lebih kecil juga ada komunitas-komunitas yang mempunyai kepedulian terhadap sesama. Memberi makan kepada penduduk miskin secara sukarela, memberi pendidikan gratis kepada anak jalanan merupakan beberapa contoh nyata yang dapat dilakukan komunitas tersebut untuk memajukan bangsa. Ketika kepahlawanan belum bisa dilakukan secara langsung dalam level negara, nilai-nilai kepahlawanan tersebut dapat dimulai dari hal terkecil yang ada di lingkungan sekitar.
Aktualisasi Diri
Kemudian apa yang dapat kita lakukan ? Ketika zaman telah berubah, kita tidak harus lagi berperang secara fisik. Menginjak milenium kedua (2000an keatas) perjuangan yang dilakukan tidaklah sama dengan zaman Perang Dunia II. Dulu perjuangan utama kebanyakan negara adalah untuk meraih kemerdekaan. Banyak negara saat itu masih terbelenggu dalam penjajahan kolonial, termasuk Indonesia. Kini ketika zaman telah berubah, bentuk perjuangan telah berganti. Tidak lagi perjuangan untuk menjadi bangsa merdeka tetapi perjuangan untuk memajukan bangsa. Pahlawan kemudian tidak terpaku pada orang-orang yang berjuang demi kemerdekaan tetapi meluas kepada mereka-mereka yang berusaha untuk memajukan bangsa.
Oleh karena itu untuk berkontribusi kepada bangsa dan menjadi "pahlawan" tugas kita secara individu tidak lain adalah untuk ikut memajukan bangsa. Caranya adalah dengan pendidikan. Pendidikan tidak harus dalam bentuk formal, berbagai pendidikan informal juga semakin penting dilakukan. Mereka yang pandai menulis ikut memajukan bangsa melalui tulisannya, mereka yang pandai bermusik ikut mengharumkan negara dengan lagu-lagunya. Mereka yang cerdas secara akademis, dapat menjadi pahlawan negara ketika mendapat prestasi internasional. Mereka yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan dapat memberi penyuluhan pentingnya lingkungan kepada masyarakat banyak, dan masih banyak lagi. Melalui hal-hal kecil yang kita minati dan sukai kita dapat menyumbang sesautu untuk kemajuan bangsa. Dengan cara- cara kita sendiri, dengan hal-hal yang kita sukai selama itu positif, sesuai dengan nilai-nilai kepahlawanan dan dapat berguna untuk bangsa maka secara tidak langsung kita telah menyumbang sesuatu untuk kemajuan bangsa.
Selamat Hari Pahlawan ...
*Rizka Perdana Putra, anggota LPM Mercusuar