Lembaga Pers Mahasiswa

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” ― Pramoedya Ananta Toer

Saturday, June 21, 2014

On 2:38 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
Oleh Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Airlangga “Mercusuar”[2]

 Isu Dolly cukup menyita perhatian kita akhir-akhir ini. Selama beberapa lama hingga kini, Dolly menjadi isu yang rumit apabila ditinjau dari permasalahan-permasahalan yang ada di dalamnya. prostitusi dimana-mana selalu memancing keresahan di masyarakat, Gang Dolly pun tidak terkecuali. Bagi masyarakat, isu tentang Dolly sudah sangat cukup popular, baik secara masyarakat mengenalnya sebagai tempat bisnis esek-esek, dampak yang diakibatkan, dan juga namanya yang sudah familiar konon katanya sebagai pusat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Ya, dan itu terletak di Kota Surabaya, salah satu kota terbesar di Indonesia. Sekarang, posisi Dolly adalah menjelang pada penutupan. yang jadi menarik adalah kemudian, ketika dilihat dari seberapa luas dampak penutupan Dolly ini baik secara sosial, ekonomi, politis dan lain-lain. dan mau diubah seperti apa kawasan tersebut setelah tidak lagi menjadi pusat prostitusi? Kerawanan Sosial Dolly Dolly yang dikenal sebagai pusat esek-esek tidak hanya terdengar di kalangan warga Surabaya dan Jawa Timur saja. Bahkan gaungnya terkenal sampai ke luar negeri. Tentu ini bukan suatu prestasi, melainkan tamparan bagi warga Surabaya khususnya, karena di saat yang sama, Surabaya lebih dikenal di luar sebagai kota pelacuran ketimbang julukanya sebagai “Kota Pahlawan”.

Pemerintah tentu bukan tanpa alasan melakukan penutupan. Pasalnya penutupan Dolly bukan terjadi di era Walikota Tri Rismaharini saja, melainkan sudah terdengar semenjak era Bambang DH, bahkan sejak 1999. Dari perspektif yang menolak penutupan, belum terdapatnya upaya duduk bareng antara Pemkot dengan PKL di kawasan Dolly, untuk membicarakan alternative kegiatan ekonomi ke depan bagi mereka pasca-penutupan. Jika kemudian penutupan adalah kebijakan, tetapi kebijakan pasca penutupan belum menjadi grand design program yang utuh yang dipahami dengan baik oleh masyarakat yang bersangkutan. Kalau seperti ini, akan menjadi percuma keputusan untuk penutupan. Mengingat kasus tempat lokalisasi. masyarakat dan beberapa golongan yang berkepentingan dilanda kebingungan akibat masih simpang-siurnya informasi dan pemberdayaan masyarakat pasca-penutupan. Konteks masalah Dolly tidak dapat dilihat sebagai aktivitas transaksi antara pelanggan dan PSK saja. Dibalik PSK ada mucikari. Dibalik PSK dan mucikari ada masyarakat yang sebagian besar bergantung kepada perputaran ekonomi meski dari hasil bisnis esek-esek tersebut. Di dalam memandang aktivitas lokalisasi, bukan soal WTS yang menjual dirinya ke lelaki hidung belang, setelah itu selesai, bukan. Akan tetapi dikordinir, berlangsung secara teratur dan dikelola oleh peranan para Mucikari secara sistematis. Mulai dari persebaran PSK, perekrutan, dan lain-lain. Mucikari bermain dengan sangat rapih dan terkordinir. Jika verifikasi dan upaya follow up tidak maksimal oleh pemerintah, maka akan berpeluang untuk dibangunya pusat prostitusi di wilayah lain pasca-Dolly. Dan hal tersebut sudah terbukti bahwa mulai menjamurnya prostitusi berkedok jasa panti pijat di wilayah Surabaya. Ditambah lagi, lokalisasi Dolly pasti berkaitan juga dengan jaringan trafficking bisnis prostitusi lintas wilayah, bahkan lintas negara. Penutupan ini nantinya tidak lantas menyelesaikan masalah. Selain persoalan mekanisme penutupan dan kebijakan ganti rugi pasca-penutupan. Penutupan yang tidak matang nantinya malah justru melebarkan persoalan, prostitusi justru semakin menyebar dan tidak terkendali, persebaran HIV tidak bisa dihindari. Terlebih, PSK Dolly dilihat dari asal daerahnya sangat beragam. Konsentrasinya tidak hanya Surabaya, tetapi asalnya meliputi daerah-daerah di wilayah Jawa Timur, bahkan tidak sedikit yang berasal dari Jawa Barat.

Hal ini tentu akan membawa masalah-masalah baru, karena PSK tidak semata-mata mencari kerja. Akan tetapi berada dalam keterikatan dengan jaringan mucikari, yang terkordinir secara lintas wilayah. Dampaknya, prostitusi terancam tersebar lebih luas dengna menjangkau titik-titik yang sebelumnya tidak terlalu signifikan angkanya. Pemerintah harus take responsibility kepada masyarakat dengan pemahaman bahwa PSK sepulangnya dari Dolly harus diberikan ruang untuk beraktualisasi dalam sektor ekonomi yang lain dan menghindari terjerumusnya ke dalam lembah nista lagi. Penutupan tempat prostitusi harus holistic. Sebab jika tidak, apabila nantinya Dolly ditutup, akan tetapi prostitusi justru menjalar ke klub-klub dan panti Pijat? Tidak juga secara serta-merta bahwa aktivitas prostitusi bisa selesai setelah PSK diberi santunan dan kembali ke daerahnya masing-masing. Sedangkan dalam posisi yang sama, keadaan di Dolly yang sudah lama berlangsung adalah begitu tergantungnya PSK-PSK terhadap keberadaan majikan/mucikari mereka. Peristiwa terjeratnya utang yang dialami PSK adalah ironi profesi yang cukup kontroversial tersebut. Karena ketergantungan yang diciptakan ini kemudian lahir perasaan untuk terus-menerus bergantung terhadap profesi tersebut. Maka tidak sedikit PSK-PSK yang terpaksa menghidupi keuanganya dengan melanjutkan bekerja pada mucikari ini. Dan sangat besar kemungkinan pasca-penutupan, PSK-PSK tersebut kembali berprofesi sebagai penjaja seks. Dibutuhkan solusi dan pemahaman utuh terhadap penyelesaian Dolly yang berlarut-larut.

Dolly ku? secara latar belakang, keberadaan prostitusi itu sama dengan usia peradaban manusia. Setiap peradaban itu lahir, sistem kehidupan yang makin tersistematis, maka saat itu pula prostitusi hadir sebagai jawaban atas salah satu sarana penyaluran kebutuhan-kebutuhan biologis oleh kalangan tertentu sehingga harus dipenuhi. Menurut Listiyono Santoso, akademisi FIB Unair, keberadaan Dolly itu sebagai tempat prostitusi menuai masalah, karena posisinya sebagai pusat lokalisasi namun berada di tengah pemukiman. Begitupula posisinya sebagai tempat yang padat pemukiman yang dibiarkan menjadi pusat lokalisasi. Karena ketika bicara ideal, dalam konsep tata ruang dan sosiologi perkotaan, letak tempat prostitusi adalah harus dijauhkan dari hiruk-pikuk aktivitas kehidupan, dan tentu jauh dari pemukiman. Karena lokalisasi sebagai tempat yang semestinya terbatas, berfungsi sebagai pemusatan prostitusi agar mampu untuk dikendalikan dan dikontrol, ketimbang ketika prostitusi dibiarkan liar, bebas dan tidak terkendali di jalanan-jalanan, yang dimana resikonya jauh lebih besar. Beragam respon masyarakat bermunculan tentang santernya isu penutupan Dolly, tentu dengan berbagai tanggapan baik itu pro atau kontra. Namun tidak sedikit pula yang kurang tanggap dan peduli perihal penutupan Dolly.

Bagi pihak yang mendukung, tentu Dolly sudah sekian lama menyatu dengan daerah sekitarnya, dan menjadi nafas kehidupan dan pusat ekonomi yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat disana, terutama di Kelurahan Putat Jaya sebagai wilayah tempat bernaungnya lokalisasi Dolly dan Jarak. Dolly sebagia pusat prostitusi tidak dapat dipandang dalam konteks sekadar transaksi antara WTS dan pelanggan saja. Dolly pun sama halnya adalah sebuah sistem yang kompleks. Yang merupakan pertautan antara masyarakat sekitar yang menggantungkan perekonomianya pada sektor-sektor yang berkaitan dan beririsan secara langsung maupun tidak, terhadap bisnis prostitusi tersebut. Siapa saja diantaranya mereka? Tukang parkir, jasa laundry, penjual pakaian, penjual makanan, usaha kelontong, dan lain-lain. bagi masyarakat sekitar, keberadaan Dolly adalah titik tumpu dari peranya sebagai tempat bergantung untuk ladang mata pencaharian. Secara langsung, penggunaan bangunan untuk wisma, pengelolaan bisnis prostitusi yang melibatkan jaringan-jaringan lintas daerah, para mucikari dan pihak ketiga yang turut menikmati keuntungan dari keberadaan daerah lokalisasi menjadikan kawasan Dolly sebagai center of gravity bagi sekitarnya.

Ketergantungan yang diciptakan secara sistematis ini yang mendasari penolakan utama secara faktor-faktor rasional tertentu sementara ini oleh pihak yang berkepentingan. Terlebih, jaminan yang coba diberikan pemerintah dianggap masih sebatas langkah pemanis. Siap tidak? Dari informasi masuk yang dihimpun oleh tim peninjau, dapat diketahui bahwa gelombang penolakan terhadap penutupan Dolly terjadi karena dipandang jika pemerintah hingga kini belum ada upaya konkrit yang mampu meyakinkan pihak-pihak yang bersangkutan lewat jaminan-jaminan sosial-ekonomi ke depan yang jelas. Belum tuntas masalah ganti rugi di lokalisasi yang telah ditutup sebelumnya, kini Dolly akan ditutup dengan menyisakan banyak sekali pertanyaan mengenai pasca-penutupan. yang menjadi kebutuhan masyarakat sekitar prostitusi yaitu, mau diapakan Dolly nantinya ketika pasca-penutupan, dan apakah nanti ada jaminan bahwa konidis ekonomi akan lebih baik setelah tidak adanya aktivitas prostitusi, dan apakah pemerintah sudah memiliki grand design pembangunan ekonomi di kawasan Dolly? Ketidakjelasan ini dan simpang-siurnya informasi yang mendasari masih menguatnya gelombang penolakan terhadap penutupan Dolly. Sudah banyak kajian dan tanggapan tentang Dolly dan kontroversi rencana penutupan. yang belum banyak dipikirkan sekarang bukan lagi itu. Tapi apa yang nanti dilakukan setelah penutupan Dolly, action plan, bukan lagi kontroversi tentangnya.

Langkah-langkah yang perlu dicermati. Pertama, Penutupan Dolly adalah amanat Perda, yang salah satunya bersumber dari Perda No.7 tahun 1999. Itu artinya, pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat sebagai pelaksana kebijakan untuk melakukan penutupan Dolly. Kedua, berkutat pada wilayah pewacanaan dan tanggapan tentang pro-kontra Dolly sebenarnya diperlukan tapi dengan porsi yang seperlunya. Toh dengan atau tanpa adanya civil society, gerakan masyarakat sipil, cepat atau lambat Dolly akan ditutup. Dalam artian perlu adanya paradigm reform atau pengubahan paradigma atau cara pandang terhadap Dolly setelah ini. Pasca-penutupan, apa yang seharusnya diupayakan oleh segenap masyarakat Surabaya. Bukan persoalah apakah kita just appreciate, memberi aplaus kepada mereka yang tergerak untuk membantu. Karena isu dan tema besar tentang Dolly setelah ini pasca ditutup, adalah tentang rupa dan wajah Dolly yang akan diubah nantinya.

Dibutuhkan gerakan sosial yang bertugas untuk konsen pada penanganan dan pemberdayaan pada masyarakat. Dolly, yang berada di Surabaya sudah sepantasnya menjadi perhatian bersama, oleh segenap masyarakat Surabaya khususnya. Banyak yang menaruh harap, bahwa Dolly ke depan bisa diubah wajahnya menjadi pusat kegiatan ekonomi alternative yang lain. semua elemen-elemen sudah mulai ada yang bergerak untuk membentuk platform dan rancangan arah gerak pembangunan dan pengawalan Dolly setelah ini. Dan hal tersebut salah satunya sedang dirancang oleh Elemen Pemuda Surabaya, sebuah aliansi organisasi-organisasi mahasiswa se-Surabaya yang bergerak untuk ambil andil dalam pengawalan Dolly secara holistic. Mulai dari latar belakang permasalahan, penyikapan dan posisi serta peranan mahasiswa, dan juga program yang dapat diaplikasikan nantinya kepada masyarakat di kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak sebagai upaya pembangunan ekonomi secara partisipatif, turun langsung ke masyarakat.

 Sampai hari ini, pihak di Dolly yang bersangkutan terus menunggu upaya jelas dari Pemerintah soal pemberdayaan masyarakat pasca-penutupan. santunan sebagai upaya kompensasi ganti rugi oleh pemerintah tidak akan selesai menjadi solusi, selama tidak ada pemberdayaan yang jelas dan terarah yang akan mampu menopang keadaan ekonomi mereka. Terutama kejelasan nasib pekerjaan setelah nanti lokalisasi ditutup. Ada beberapa sektor utama yang menjadi fokus program terkait pemberdayaan masyarakat di Dolly, kelurahan Putat Jaya. Yang pertama yaitu ekonomi, sosial, kesehatan dan pengajaran. Pelatihan-pelatihan yang direncanakan pemerintah pun memiliki sasaran untuk pemberdayaan pada PSK untuk mencari pekerjaan lain pasca-penutupan. Pada titik ini dibutuhkan panggilan jiwa dan kesadaran kolektif untuk membina konsen dan kepekaan masyarakat terhadap realitas penutupan Dolly, terutama pada pemberdayaan dan program pembangunan ekonomi di kawasan tersebut pasca-penutupan, terutama mahasiswa dan organisasi-organisasinya. Menjelang penutupan Dolly 18 Juni 2014. “Turun Tangan, bukan Urun Angan” – Anies Baswedan @Mercusuar_Unair LPM Mercusuar Unair & Elemen Pemuda Surabaya (EMAS)


 [2] Tergabung bersama organisasi-organisasi mahasiswa se-Surabaya dalam aliansi EMAS (Elemen Pemuda Surabaya) yang memiliki konsen gerakan untuk mengawal penyelesaian permasahalan terkait Dolly (pra & pasca)

0 comments:

Post a Comment