Lembaga Pers Mahasiswa

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” ― Pramoedya Ananta Toer

Saturday, June 21, 2014

On 2:27 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
*Menjelang Peringatan Hari Reformasi (21 Mei) 

Ada saat dimana masyarakat mulai terbuka dan berani muncul ke hadapan publik sebagai gerakan sosial. Ada saat dimana semua elemen dalam masyarakat saling bahu-membahu, seiya sekata demi satu tujuan. Ada saat dimana kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dan instrument negara tidak mampu melawan kekuatan dan perjuangan murni people power. Yang disitu peranan masyarakat sipil adalah sangat menentukan terhadap masa depan negara, kebangsaan dan demokrasi sebagai ijtihad menuju perbaikan dan perubahan. 

Reformasi 16 tahun lalu mengesankan banyak kalangan yang masih mengigat persis betapa sakralnya dan gentingnya keadaan saat itu yang mengharuskan adalah perubahan sosial yang sangat signifikan. Reformasi menjadi realitas yang terbentuk karena kenyataan-kenyataan positif di masyarakat dan gejala sosial yang mendorong terbentuknya momentum tersebut. Reformasi dalam Reformasi Reformasi yang sudah terjadi 16 tahun lalu masih terpintas diingatan bangsa Indonesia, bagaimana tidak, reformasi yang melahirkan tatanan masyarakat itu masih membekas semangat perjuangannya. Ribuan keringat menetes, ribuan panji berkibar, ribuan darah mencuat untuk merubah negara ini agar terbebas dari koloni pribumi. Mahasiswa saat itu yang menginginkan sebuah pembaharuan di negeri tercinta ini, melakukan berbagai macam upaya hingga tuntutan mereka tercapai dan terpenuhi. 

Peristiwa reformasi 1998 yang menghasilkan lengsernya rezim beserta presiden berkuasa yaitu presiden Soeharto adalah hasil keringat mahasiswa, tak hanya sekedar tuntutan mundurnya presiden, berbagai tuntutan masih ada sehingga membuat semangat akan merubah kondisi bangsa ini semakin berkobar dan membara. Tuntutan itulah yang membuat mahasiswa terus melakukan pelbagai aksi turun jalan meskipun presiden sudah menyatakan lengser keprabon. Gejolak semangat jiwa raga yang menginginkan bangsa baru lah yang menjadi landasan para mahasiswa untuk terus mengobarkan api semangatnya hingga akhir tahun 1998. 

Massive-nya gerakan mahasiswa dikala itu tak mampu terbendungkan oleh barisan kawalan TNI-Polri. Keinginan mahasiswa akan tuntutan perubahan akan terus membanjiri ibukota sebelum masalah internal dan eksternal negara raksasa ini. Berbagai luapan masalah internal dan ekstenal bangsa ini yang melatar belakangi dikala itu menjadi hantu bagi Indonesia, sehingga memunculkan sikap bagi para pihak, termasuk mahasiswa yang menelurkan sikapnya dengan berbagai tuntutan dan aksi turun jalan/aksi demonstrasi. Beberapa permasalahan negeri tersebut akhirnta terangkum dalam beberapa agenda 6 reformasi yaitu: adili Soehartto beserta oknumnya; bersihkan KKN; otonomi daerah seluas-luasnya; tegakkan supremasi hukum; penghapusan dwi-fungsi ABRI; dan, amandemen UUD 1945. Semua itu dipandang latar belakang masalah Indonesia sehingga melahirkan 6 agenda reformasi tersebut. Diluar 6 agenda Reformasi, masih banyak kerancuan negeri ini yang menjadi bahan tuntutan masyarakat, khususnya mahasiswa yang menjadi agent of change bangsa ini. 

Masalah tingginya harga pokok, inflasi yang tinggi, merosotnya nilai tukar rupiah hingga naiknya nainya harga BBM. Semua itu adalah bagian dari sorotan publik terhadap ngerinya negeri ini dikala itu. Oleh itulah massa dari seluruh penjuru Indonesia melakukan gerakan masal untuk menemukan perubahan yang dapat mencerahkan negeri ini dalam kedepannya. Termasuk mahasiswa yang menjadi promotor dari perisiwa bersejarah yang terekam dalam pembebasan perjalanan hitam bangsa tersebut Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa tidak terpusat dalam satu titik semata. Beberapa pergerakan mahasiswa dengan massa yang besar menyerbu ibukota di beberapa tempat, sehingga membuat para pasukan penjaga dan pengawal negeri ini ketimpangan melihat luapan mahasiswa yang membanjiri Jakarta. Gerakan para mahasiswa terus mengalir dan tak tertampung kawalan oleh tentara dan polisi, lalu timbullah loss-nya mahasiswa dari kawalan dan memasuki beberapa tempat strategis ibukota. 

Terebutnya beberapa tempat penting di ibukota juga, termasuk terebutnya tempat (yang katanya) para wakil rakyat menjadi sebuah momentum karena dengan itu pula presiden Suharto menyatakan untuk mundur dan lengser keprabon. Tempat yang diduduki mahasiswa itupun juga menjadi menjadi saksi perjuangan perjuangan mahasiswa dalam kemenangannya atas gelapnya kondisi bangsa. Menurut mahasiswa-mahasiswa penegak demokrasi di masa itu adalah peristiwa reformasi merupakan awal dari gerakan yang dilakukan mahasiswa kedepannya, bukan sebuah upaya akhir untuk merubah negeri ini. itu seharusnya menjadi cerminan dimana mahasiswa harus tetap aktif dalam mengawal keadaan Indonesia disaat sakit parah. 

 Namun bagaimanakah kondisi dinamisasi gejolak pergerakan mahasiswa jika kita sandingkan dengan gejolak mahasiswa masa sekarang ini. Ironis bila kita amati para mahasiwa hanya diam dan terbungkam oleh keadaan sekarang, mahasiswa yang seharusnya memiliki idealisme tinggi dalam falsafah hidupnya, namun sekarang sudah mulai pragmatis dan apatis terhadap permasalahan yang menggoncang poros negara ini. Urgensi Reformasi Reformasi sebagai sebuah pencapaian, tentu bukan merupakan sebuah tindakan yang berdasarkan garis khayal, atau keajaiban yang terjadi begitu saja. 

Reformasi memerlukan sebuah konsepsi dan kesiapan yang kuat. Dan Reformasi adalah momentum yang diciptakan dengan persiapan dan upaya segenap masyarakat yang menghendaki adanya pergantian rejim. Keberadaan Orde Baru sebagai representasi pemerintahan yang otoriter dan abusif menghasilkan sebuah kondisi yang mengharuskan adanya para reformis yang siap menentang status quo. Kehidupan demokrasi tidak ayal dibatasi ruangnya pada zaman Orde Baru. Tidak ada kebebasan berpendapat, tidak ada ruang publik bagi terciptanya wacana masyarakat yang bebas. Oposisi adalah sesuatu yang sangat tabu. Partai diperkuat sebagai alat untuk mempertahankan rejim pemerintahan. Tidak ayal lawan politik diperketat dan diawasi, pemrotes tinggal menunggu waktu untuk ditindak ataupun lenyap. Banyak sekali kehidupan publik yang dirampas dari ruang yang seharusnya. Meski saat itu konon masyarakat memperoleh kehidupan layak, kebutuhan logistic yang memadai dan kesejahteraan ekonomi akibat limpahan minyak. 

Kaum terdidik adalah yang pertama tersadar bahwa pengelabuan kehidupan berbangsa sebenarnya terjadi tidak dengan kasat mata, nyata akan tetapi dikemas dalam bungkus kesejahteraan. Kebebasan adalah yang paling penting, karena kebebasan menjadi suatu kondisi dimana masyarakat sipil mengambil peran seluas-luasnya dalam kehidupan bernegara. Terjadinya pelanggaran HAM terberat, adalah semasa Orde Baru. Harga mahal yang harus ditebus olehnya, yaitu sebuah momen besar untuk menuju kembali demokratisasi negara yang terus mencari bentuk. Reformasi kemudian dibumikan sebagai satu titik untuk mengembalikan ruh-ruh demokratisasi yang dirampas akibat despotiknya penguasa. Kekuasaan apabila bukan di tangan yang tepat hanya akan berakhir kepada tirani dan pemerintah yang otoriter. Seperti jargon yang menyebutkan power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely adalah bukan sebuah isapan jempol belaka. Supremasi Hukum & Pemberantasan KKN? Agenda Reformasi tentu berisi tuntutan dan harapan serta proyeksi akan pengawalan proses reformasi ke depan sebagai bentuk upaya pembangunan negara yang multidimensional ini. 

Perumusan agenda reformasi adalah sangat penting, mengingat ini terkait dengan visi dan arah gerak yang akan dilakukan oleh negara setelah terjadinya dinamika sosial-politik yang berdampak kepada kehidupan bernegara. Tugas generasi aktivisme hari ini adalah memastikan betul bahwa bentuk pengawalan agenda reformasi memerlukan sebuah kesungguhan dan kontinuitas selepas tujuan mengakhiri tirani itu tercapai. Maka yang menjadi catatan, bahwa pengawalan ini menjadi kunci utama akan tetapi sangat determinatif dalam menentukan kesinambungan arah bangsa Indonesia. 6 poin agenda reformasi masing-masing mencerminkan kebutuhan dan urgensi mengapa reformasi itu perlu dilakukan sebuah bentuk konsolidasi dan penguatan baik institusionalisasi maupun bentukan kultural. 

Yang paling mendesak salah satunya adalah supremasi hukum. Betapa sudah begitu banyak saat itu, pelanggaran HAM yang terjadi. Antara lain penculikan-penculikan aktivis yang memang bersuara lantang menantang kebijakan dan kesewenang-wenangan pemerintah. Tindakan represif lainya termasuk yang dilakukan oleh aparat. Atas nama hukum negara melakukan kebijakan atas nama hukum. Ruang-ruang bebas dibatasi dan diberangus apabila diindikasikan melawan kebijakan pemerintah atau tidak sejalan dengan koridor yang digariskan pemerintah. Ini adalah keniscayaan penyalahgunaan wewenang. Dan hukum sebagai insturmen negara telah diputarbalikkan penggunaanya sebagai alat legitimasi atas aksi-aksi pemerintah saja. Maka tidak mengherankan apabila kemudian HAM beserta seperangkat kemanusiaan lewat hukum negara perlu sekiranya ditegakkan kembali sesuai lajur kebenaran objektif dan posisi rule of the law sebagai prinsip yuridis yang kuat mengatur kehidupan warga negara dengan sebaik-baiknya penerapan. Kehidupan pasca reformasi menitikberatkan terciptanya kondisi keteraturan dalam hukum termasuk kesetaraan semua warga negara dalam hukum. Hukum adalah instrument yang berlaku setara bagi semua kalangan, tanpa pandang golongan, status, jabatan, latar belakang apapun. Kondisi yang demikian disebut dengan equality before the law. Yaitu kesetaraan setiap individu warga negara di hadapan hukum. 

Dengan posisi hukum, melalui pengembalian peraturan ke dalam landasan UUD 1945 dalam kehidupan bernegara, dan pelaksanaan hukum secara holistic yang mengatur baik secara regulative kehidupan warga negaranya agar terciptanya keteraturan. Yang paling penting sebenarnya adalah pelaksanaan instrument hukum oleh warga negara dan penegakan hukum itu sendiri. Sehingga prinsip equality before the law akan berlaku apabila ditegakkanya rule of the law di tengah-tengah masyarakat. Ketika berbicara tentang pemberantasan KKN itu ibarat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Musuh terbesar bangsa ini adalah perilaku dan mindset Korupsi Kolusi dan Nepotisme dalam segi apapun yang banyak dijumpai, pada level apapun dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. KKN adalah cerminan betapa buruknya kondisi bangsa ini dalam segi pelaksanaan birokrasi. 

KKN adalah fenomena sehari-hari dalam masyarakat di Indonesia, yang sangat identic dan sangat lekal keberadaanya. Ketika bicara mengenai Korupsi , maka secara tidak langsung hal ini berkaitan dengan realitas sosial Indonesia sekarang. Korupsi adalah salah satu penyebab mengapa bangsa ini cenderung jalan di tempat, dan adalah faktor mengapa hingga kini negara Indonesia masih sangat jauh tertinggal dengan negara lain. Ibaratnya, KKN adalah duri dalam daging. KKN bukan lagi sebuah hal yang dihindari, tetapi keberadaanya sangat identic dengan kehidupan masyarakat. Korupsi dan bentuk-bentuknya memang tidak dapat dilenyapkan begitu saja dalam waktu singkat. Dari sudut kebijakan publik, mengurangi dan memberantas KKN memerlukan sebuah reformasi institusi yang kuat, dalam hal ini melalui lembaga penegakan hukum. 

Akan tetapi, KKN sudah terlanjur “terlembaga” dalam kehidupan dan menjadi kultur, maka tidak akan cukup dengan hanya elit dan lembaga yang berperan. Sehingga mengatasi KKN sebenarnya dikembalikan dari pengaruh dan penguatan pada level grassroot , yaitu penyadaran yang ada di masyarakat dan melalui saluran dalam internal masyarakat itu sendiri. Yang akan ditopang dengan keberadaan institusionalisasi hukum lewat penguatan fungsi perundangan-undangan. Supremasi hukum kemudian berbicara bagaimana persoalan akut yang sedang dihadapi birokrasi negara dalam segi lini kehidupan dapat segera diatasi, yaitu korupsi. Korupsi lazimnya telah menjadi permasalahan internal yang sangat menggerogoti kehidupan bernegara dalam konteks kekuasaan pada level apapun. Dan birokrasi Indonesia sangat lekat dengan keberadaan korupsi yang sedemikian kuatnya mengakar dari level apapun. Dan penyakit ini salah satunya yang mengancam birokrasi dan kelangsungan kehidupan negara itu sendiri. 

Penegakan hukum juga menyinggung sebuah ijtihad dengan sasaran agar mampu meletakkan fungsi koersif hukum untuk menekan perilaku korupsi dari pejabat dan menciptakan kepatuhan sosial terhadap hukum. Tentu hal tersebut dimulai dari pengusutan terhadap kasus korupsi dalam segi birokrasi pada level apapun. Yang pasti kelak akan menyeret pejabat mulai dari eselon terendah sampai level tertinggi di pemerintahan pusat. Harapanya, institusi penegakkan hukum menjadi tonggak, tumpuan dan kekuatan yang berpegang teguh pada keadilan sejati, seperti kejaksaan, kepolisian dan kehakiman berada dalam garda terdepan pemberantasan korupsi. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa justru penegakkan hukum tidak maksimal karena tidak cukup efektifnya kinerja para penegak hukum; ditambah lagi bahwa institusi penegak hukum belum mampu menangani persoalan budaya koruptif yang ada di dalam internalnya sendiri. Sehingga sangat memprihatinka bahwa lembaga penegak hukum itu sendiri adalah yang juga terdampak dari perilaku koruptif itu sendiri. 

Masyarakat Indonesia sangat bertumpu kepada keberadaan KPK di dalam upaya pengusutan kasus korupsi yang tiada habisnya. Penguatan fungsi institusi ini untuk dapat menjangkau lebih jauh keterlibatan mereka tidak hanya pada level pusat. Bahkan muncul isu mengenai pembentukan KPK di level daerah. Hal tersebut menyiratkan bahwa KPK pun belum cukup mampu berdiri secara optimal di dalam mengusut begitu banyaknya kasus korupsi. Dan kecenderungan tebang pilih dari pengusuatan kasus masih sangat kuat. Tentu KPK sebagai lembaga superbody juga punya kelemahan, yaitu keterbatasan sumber daya. Supremasi hukum yang berarti adalah penguatan fungsi hukum dan penegakan hukum. Secara dalam hal ini, semua elemen harusnya bertanggung jawab dan mengambil andil disini sebagai kesadaran terkait peranan sebagai warga negara yang harus mematuhi aturan hukum. Supremasi hukum bukan dibentuk dan akan berhasil oleh kewenangan elit dan peranan elit penegakan hukum saja, hal tersebut pasti tidak akan cukup. Masyarakat dalam hal ini pun juga punya andil yang sangat besar, bagi pembentukan kesadaran di tengah-tengah mereka. Karena bentuk penyadaran akan sangat efektif terjadi lewat pembentukan-pembentukan di tengah-tengah kehidupan mereka. Maka dari itu, peranan civil society, yang diwakili dengan LSM dan NGO-NGO sangat dinantikan perananya, tidak hanya sekedar keberadaanya. 

Dalam masyarakat demokrasi, sebagaimana dinantikan banyak orang, dan berpeluang untuk semakin mengarah pasca terjadinya reformasi seperti sekarang ini. Tolak ukur keberhasilan demokrasi adalah saat masyarakat sipil mengambil andil yang sangat besar dalam kehidupan bernegara. LSM-LSM disini mengambil peran sebagai gerakan kampanye penegakkan hukum, atau law enforcement terlepas dari penegakan secara peraturan lewat elit-elit. Sehingga, supremasi hukum, adalah tanggung jawab kolektif. Tinjau Penerapan Otonomi Salah satu tuntutan lainya yang paling keras disuarakan ketika reformasi berlangsung, dan termasuk juga dalam salah satu agenda reformasi, adalah tuntutan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Tuntutan atas pemberian otonomi kepada daerah-daerah dilatarbelakangi oleh kenyataan sebelumnya bahwa yang terjadi di pemerintahan Orde Baru mengabaikan kondisi daerah, terutama dalam aspek kesejahteraan, pembangunan, sumber daya dan pemerataan. 

Orba sangat fokus untuk mengeruk keuntungan dari daerah demi kepentingan di pusat. Dan pembangunan yang cenderung diintensifkan di Jawa daripada daerah-daerah yang lainya. Dasar ini yang menyebabkan kecewanya elemen masyarakat dan masyarakat secara umum di derah-daerah. Gambaran mengenai Indonesia sebagai satu entitas dan bentangan yang luas, harus mewajibkan terlaksananya pembangunan dan pembagian kesejahteraan yang merata di semua daerah, tidak hanya di Jawa, apalagi Jakarta. Bentuk traumatis seperti itu yang kemudian melatarbelakangi kemunculan Otonomi Daerah. Karakteristik dari Otonomi Daerah yaitu berkurangnya control pusat. Sehingga daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri dalam domain tertentu. Pemerintahan yang terlalu terpusat dalam sejarahnya memang tidak pernah baik. Karena dalam hal ini semua kewenangan, dan kondisi serta permasalahan ditangani sepenuhnya oleh tangan-tangan dari pusat. Yang itu belum tentu sesuai dan cocok dengan tipologi dan kondisi daerah tersebut. Semuanya bergantung kepada taken for granted dari pusat. Dan tidak jarang pemerintah pusat tidak hadir di saat masalah-masalah di daerah muncul dan pusat tidak akan mampu menangani permasalahan secara holistic di daerah karena keterbatasan jangkauan. 

Peran pemerintahan daerah diperlukan dan diberikan seharusnya dalam domain tertentu. Sehingga ada pembagian peran mana yang merupakan kewajiban pusat, dan mana yang merupakan tanggung jawab Pemda. Otonomi dibutuhkan negara, karena pelaksanaan kebijakan bergantung dari level-level, seperti pusat dan daerah, dan diperluka pembagian yang jelas. Untuk melaksanakan fungsi kebijakan yang efektif. Selain itu, otonomi memberikan ruang kepada daerah untuk mengelola SDA nya secara mandiri, selain itu juga dari segi birokrasi dan beberapa pengelolaanya, yang diharapkan bahwa daerah-daerah dapat mandiri. Akan tetapi bukan sepenuhnya diserahkan kepada daerah tanpa adanya peranan pusat disitu. Otonomi berarti pemberian wewenang kepada daerah akan tetapi tidak mutlak sepenuhnya pusat tidak campur tangan. Otonomi perlu dibedakan dengan konsep federal. Karena dalam otonomi tetap menekankan fungsi integrasi nasional, berbeda dengan federasi yang terkoneksi secara kordinatif antara pusat dan daerah. Konsep federasi adalah kewenangan daerah yang lebih menguat, ketimbang peranan pusat. Sehingga intervensi pemerintah pusat sangat minim sekali. Tetapi Otonomi Daerah menekankan fungsi aparatur daerah secara pengelola, bukan pelaksana sepenuhnya semua ranah kebijakan. Namun gagasan ideal dengan pelebaran kewenangan terhadap pemerintah daerah tidak serta merta menguatkan fungsi birokrasi di daerah. 

Dampak-dampak Otda kemudian tidak jarang melahirkan masalah-masalah yang sebenarnya pernah ada ketika zaman Orba, bahkan cenderung menguat. Yang pertama, Otonomi Daerah belum tentu cocok diterapkan di semua wilayah di Indonesia. Mungkin untuk beberapa daerah pelaksanaan Otda efektif, akan tetapi tidak sedikit wilayah di Indonesia yang tidak mampu menjalankan fungsi Otonomi Daerah dengan baik. Dan bahkan kelimpungan dan kesulitan sendiri dan membutuhkan peranan pusat lebih jauh. Karena Otonomi Daerah berbicara mengenai pengelolaan secara mandiri, belum tentu semua wilayah sudah memiliki kesiapan untuk melaksanakan semua level kebijakan pada ranah apapun dengan tupoksi dan lajur yang benar. 

Yang kedua, pelaksanaan Otonomi Daerah semakin membuka mata lebar-lebar budaya koruptif dan budaya politik dalam masyarakat. Otonomi daerah memberikan peluang bagi elit-elit lokal untuk membentuk suatu korporasi dan lingkaran-lingkaran kekuasaan secara permisif, elit, ekslusif dan terbatas. Pola-pola seperti ini yang diberikan oleh demokrasi di Indonesia, ruang yang sangat luas oleh Otonomi Daerah memberikan akses bagi mereka untuk menciptakan lingkaran kekuasaan yang sangat dominan di daerah. Dan ini adalah tidak melanggar rule of the law dari ketetapan hukum negara/hukum di pusat. Sehingga, demokrasi yang memberikan ruang bebas untuk partisipasi cenderung mengafirmasi bentuk-bentuk oligarki. Dan oligarki semakin menguat keberadaanya karena format Otonomi Daerah memberikan kesempatan bagi mereka untuk terbentuk dan menguat di daerah-daerah. Dari segi kewilayahan, pola-pola oligarkis ini sudah ditemukan di beberapa wilayah, seperti di Madura dan Provinsi Banten, elit-elit lokal cenderung merupakan orang dalam lingkaran yang sama dengan oligarki di daerah tersebut. Ini adalah paradoks dari otonomi, yang malah justru menjadi ibarat simalakama dari demokrasi di era reformasi ini. 

Keterbukaan dalam kanal aspirasi dan partisipasi diharapkan mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi warga negara untuk terlibat dalam pembangunan kehidupan bernegara secara bersama-sama. Akan tetapi bentuk demokrasi di Indonesia yang cenderung kepada oligarki dan politisasi oleh elit justru semakin menguat di era reformasi ini, terutama karena kewenangan dan akses yang diberikan secara tidak langsung oleh keberadaan Otonomi Daerah. Dan oligarki kekuasaan pada konteks apapun selalu dekat dengan budaya korupsi dan perilaku korupsi. Jadi oligarki adalah fenomena demokrasi kontemporer di Indonesia, yang justru semakin menguat pasca kejadian reformasi. Maka dari hal ini, peranan institusi penegak hukum dan partisipasi masyarakat dalam gerakan penyadaran maupun media massa akan menjadi penting sebagai social control yang berfokus pada tujuan untuk mendesak transparansi di pemerintah daerah, sebagai bukti konkrit kepada publik dan bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan Otonomi Daerah selama ini. Posisi Gerakan Mahasiswa Lantas, yang diharapkan bagi gerakan mahasiswa sekarang, adalah tidak hanya berhenti pada tataran konsepsi, tidak kemudian stagnan dalam tataran wacana. Namun kesadaran untuk menumbuhkan partisipasi lewan pembentukan-pembentukan di lingkup kampus adalah urgensi gerakan mahasiswa saat ini. 

Reformasi adalah karya nyata oleh gerakan mahasiswa. Dalam hal ini tentu tidak hanya sebagai tanggung jawab moral, tetapi merupakan kewajiban sebagai intelektual-organik mengharuskan mahasiswa senantiasa konsisten dalam perananya mengawal sampai sejauh mana kebijakan pemerintah dan kecenderungan kultur dalam level negara, maupun daerah berpihak kepada agenda reformasi. Selain itu juga mengawal agenda reformasi sesuai dengan caliber dan kapasitas kemampuan sebagai mahasiswa. Yaitu mengupayakan integritas, kejujuran dan tindakan yang mencerminkan dukungan terhadap pelaksanaan 6 poin dalam agenda reformasi. Yang tentu berkaitan dengan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Karena agenda reformasi adalah pengejawantahan dari tuntutan rakyat kepada negara dan pemerintah. Fungsi sebagai control sosial tidak hanya sekedar dalam gerakan euforia unjuk rasa, akan tetapi memerlukan metamorfosis dalam membentuk ragam gerakan lainya yang terus berupaya untuk menyesuaiakan format gerakan mahasiswa era kontemporer seperti sekarang ini. Mengkritik, harus juga diimbangi dengan kemampuan untuk take action. 

 Oleh : LITBANG LEMBAGA PERS MAHASISWA “MERCUSUAR” UNAIR @Mercusuar_Unair

0 comments:

Post a Comment