Lembaga Pers Mahasiswa

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” ― Pramoedya Ananta Toer

Saturday, June 21, 2014

On 2:40 PM by LPM Mercusuar UNAIR in    No comments
Dalam rangka menghidupkan kembali kegiatan pers mahasiswa di kampus-kampus, Tempo Media Group pada hari Jum’at tepatnya tanggal 13 Juni 2014 mengundang pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Mercusuar Universitas Airlangga untuk mengikuti kegiatan seminar jurnalistik. Pada kegiatan tersebut, enam pengurus LPM Mercusuar yang hadir yakni Ahmad Fahri Huseinsyah, Rizka Perdana, Fakhry Ilmullah, Ahalla Tsauro, Auliya Rahman, dan Larasati Andayani, disambut hangat oleh karyawan dan staf Tempo yang kantornya bertempat di Surabaya. Walaupun berbentuk seminar, kegiatan tersebut berlangsung sangat santai. Mas Agus, selaku kepala Biro Tempo Surabaya, sebelum memulai kegiatan mempersilakan kami para peserta untuk terlebih dahulu menyampaikan pertanyaan dan agenda pers yang menjadi tujuan di LPM. Kesempatan tersebut pun tidak disia-siakan oleh peserta. Ahmad Fahri selaku pimpinan redaksi LPM Mercusuar Unair menanyakan mengenai tiga hal pokok yakni proses pengolahan berita agar menjadi sebuah berita yang layak, pembagian divisi, dan bagaimana LPM dijadikan bukan sekedar sebagai organisasi melainkan juga perusahaan yang dapat mengumpulkan dana. Sedangkan Ahalla Tsauro menanyakan mengenai cara sukses Tempo sebagai media yang saat ini masih survive dan diakui eksistensinya walaupun usianya sudah tergolong lama. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pun ditanggapi secara antusias oleh Mas Agus.

Menanggapi pertanyaan Ahmad Fahri, Mas Agus menjelaskan mengenai pengolahan berita di dalam Tempo sendiri. Bahwa semua berita yang disajikan Tempo seluruhnya berawal dari rapat redaksi yang dilaksanakan sangat demokratis. Dikatakan demokratis karena seluruh awak Tempo baik yang statusnya masih sebagai calon reporter sampai kepada redaksi maupun redaksi senior, seluruhnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengusulkan berita. Sejauh berita yang diusulkan tersebut menarik dan mempunyai angle serta news pact, maka berita tersebut kemudian akan digolongkan sebagai berita layak Tempo yang akan ditindaklanjuti untuk kemudian dibuat reportasenya. Proses ini dapat dikatakan perlu ditiru oleh LPM demi mewujudkan iklim yang demokratis dan menekankan kepada keterbukaan. Mengenai pembagian divisi, mas Agus menilai bahwa lima divisi yang telah dibentuk LPM Mercusuar Unair yakni Redaksi, Litbang, Perusahaan, Artistik dan Fotografi, serta Humas sudah dirasa cukup untuk mewadahi jalannya kegiatan pers. Sedangkan dalam hal pengumpulan dana Mas Agus sengaja tidak menjabarkannya karena pada sesi ketiga seminar pertanyaan tersebut banyak dibahas oleh Mas Adi selaku Account Executive di Tempo Surabaya. Selanjutnya, menanggapi pertanyaan Ahalla, Mas Agus menjelaskan bahwa Tempo saat ini masih dapat survive dikarenakan oleh keunggulan konten yang dimilikinya. Mengingat setelah reformasi banyak menjamur media-media yang kritis, maka Tempo saat ini tidak lagi hanya mengandalkan sisi kritis dan gaya penulisan melainkan juga menawarkan pemberitaan yang bersifat investigatif. Investigatif di sini merujuk kepada hal-hal yang perlu diketahui masyarakat tetapi akses informasi tersebut minim dan cenderung ditutup-tutupi. Sejauh ini, media yang memberikan laporan investigatif masih jarang dan Tempo dapat dikatakan sebagai perintis laporan investigatif tersebut sehingga sampai saat ini, Temp masih diminati dan lekat dengan masyarakat. 

Dalam presentasinya, Mas Agus menjelaskan mengenai sejarah singkat pembentukan Tempo. Tempo dibentuk pada tahun 1971 oleh sekelompok anak muda yang terdiri dari Goenawan Muhammad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Usamah. Awalnya mereka tergabung dalam Ekspres, sebuah majalah berita mingguan. Namun karena terdapat perbedaan pendapat, mereka memutuskan keluar dan mendirikan Tempo. Nama Tempo sendiri dipilih karena kata ini dianggap mudah diucapkan dan cocok dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni mingguan. Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971. Dengan mengedepankan peliputan berita yang jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik dan jenaka, Tempo tampil beda dan diterima masyarakat.

Tahun 1982, merupakan pertama kalinya Tempo dibredel karena dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan Golkar sebagai kendaraan politiknya. Namun pembredelan ini hanya berlangsung selama dua bulan. Tempo diizinkan terbit kembali setelah menandatangani semacam “janji” di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu. Pengalaman pembredelan tersebut tidak lantas membuat Tempo gentar untuk membuat jurnalisme yang tajam khususnya terhadap pemerintahan Orde Baru. Dengan semakin menguatnya internal redaksi dan laporan jurnalisme yang investigatif, Tempo kembali dinilai terlalu tajam mengkritisi pemerintahan Soeharto. Puncaknya pada tahun 1994, untuk kedua kalinya, Tempo dibredel karena dianggap mengadu domba Habibie dengan Menteri Keuangan saat itu dalam hal pembelian kapal bekas dari Jerman Timur. Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di Tempo tercerai-berai akibat pembredelan berembug ulang. Mereka membicarakan tentu perlu tidaknya menerbitkan kembali Tempo, dan hasilnya, pada 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali. Karena kekurangan dana dan aset pasca pembredelan, Mas Agus menjelaskan bahwa banyak pihak yang berkepentingan pada saat itu ingin mengakuisisi dan membeli sebagian saham Tempo, namun Tempo berulang kali menolak karena tidak ingin kebebasannya tergadaikan oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang ingin menjadikan Tempo sebagai alat. Oleh karenanya, untuk menghindari hal tersebut, Tempo kemudian menawarkan sahamnya kepada publik dan jual secara terbuka di pasar saham, sehingga Tempo merupakan milik bersama, milik publik, bukan milik sekelompok konglomerat atau politisi yang memiliki kepentingan.

Setelah Mas Agus memberikan penjelasan, seminar sesi kedua dilanjutkan dengan Mbak Endri sebagai pembicaranya. Mbak Endri yang merupakan reporter senior di Tempo menjelaskan mengenai materi pelatihan jurnalistik yang disambut antusias oleh para peserta. Mbak Endri dengan gayanya yang sangat santai, membuat materi yang sebenarnya padat menjadi lebih ringan dan lebih mudah diterima. Mbak Endri dalam penjelasannya mengatakan bahwa bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam media. Bahasa yang digunakan media haruslah khas agar dapat mudah melekat dan menarik pembaca. Selain itu, rubrikasi juga diperlukan, namun sebelum penentuan rubrik apa saja yang ingin dibuat, penentuan visi dan misi dari media adalah hal yang harus terlebih dahulu ditentukan sehingga arahnya jelas dan rubrik yang akan dibuat akan sejalan dengan visi dan misi media tersebut. Rubrikasi sendiri menurut sifatnya terdiri dari news, info, opini, entertainment, dan bridge (menghubungkan media dengan pembaca). Di antara rubrikasi tersebut, bridge merupakan ciri khas yang dimiliki oleh sebuah media jurnalistik yang tidak didapati pada media lainnya. Bridge memungkinkan pembaca dapat berkomunikasi dan memberikan kritik langsung terhadap media yang biasanya dimuat dalam surat pembaca.

Melihat saat ini banyak media yang mencampuradukkan antara fakta dan opini sehingga menyesatkan pembaca, Mbak Endri menilai bahwa hal tersebut tidaklah dibenarkan. Karena bagaimanapun, berita yang merupakan sebuah fakta tidak seharusnya dibumbui oleh unsur opini. Apabila memang terdapat opini maka opini tersebut dimasukkan dalam rubriknya tersendiri, tidak digabungkan dengan berita yang ditulis di atas fakta. Selanjutnya, Mbak Endri juga menjelaskan mengenai proses produksi berita yang terdiri dari reporting, penulisan, dan editing. Reporting bersumber dari peristiwa, usulan atau liputan yang dapat diperoleh dari reportase dan wawancara. Dalam hal penulisan, Mbak Endri menyebutkan bahwa terdapat empat syarat utama menulis yang harus dipenuhi yakni menguasai masalah, menentukan angle, fokus, dan cover both side. Sedangkan dalam hal editing, hal yang harus diperhatikan adalah penajaman tulisan, pengayaan konteks, logika bahasa, akurasi, dan keamanan (sudahkah mewawancarai semua pihak yang disebut dalam tulisan? sudahkah cover both side?).

Terakhir, mbak Endri memberikan peserta tips untuk menjadi wartawan atau reporter yang baik. Beliau menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang wartawan atau reporter yang baik, kita harus dapat berteman dengan semua orang. Dalam artian kita tidak boleh meremehkan narasumber, siapapun orangnya, dari penjaga kubur sampai pejabat negara sekalipun. Selanjutnya, kita diharuskan untuk mengenali sumber luar-dalam, misalnya identitas, karir, hobi, gaya hidup, jaringan sosial ataupun kelemahan dan kelebihannya. Karena dengan begitu, kita akan lebih mudah menggali informasi dari narasumber. Selain itu, kita juga harus kredibel di mata sumber. Dalam artian bahwa kita tidak melakukan wawancara dengan kepala kosong melainkan mempunyai pengetahuan dan informasi yang memadai terkait dengan hal yang akan diperbincangkan. Seorang wartawan atau reporter yang baik menurut Mbak Endri tidak egois dan berkhianat sehingga memperhatikan komitmen off the record dan tidak berlaku pongah serta tidak ngaret dan berpakaian lusuh (meski tak perlu mentereng).

Sesi terakhir dari seminar jurnalistik yang diadakan Tempo ditutup dengan presentasi yang disampaikan oleh mas Adi selaku Account Executive (AE) di Tempo Surabaya. Selain reporter dan redaksi, ternyata terdapat aktor lain yakni AE yang turut berkontribusi bagi jalannya proses produksi jurnalisme media. Sebagai seorang AE, Mas Adi menjelaskan mengenai bagaimana sebuah media mampu mendapatkan dana sehingga kontinuitas produksi dapat tetap berjalan. Mas Adi menyebutkan bahwa terdapat empat pilar utama bisnis media cetak yakni konten, sirkulasi/distribusi, readership, dan iklan. Namun karena keterbatasan waktu, Mas Adi lebih menekankan penjelasan kepada pilar iklan sebagai hal yang sangat krusial bagi bisnis media. Sebagaimana yang diketahui bahwa saat ini, iklan menjadi media yang sangat efektif dalam melancarkan promosi produk. Media kemudian menawarkan perusahaan-perusahaan atau agensi untuk memasang iklannya di media. Tugas AE dalam hal ini adalah menjadi penghubung bagi perusahaan atau agensi periklanan untuk memasang iklan-iklan tersebut di medianya, yang harganya tentu saja sangat fantastis, di mana satu halaman koran atau majalah dapat saja dihargai puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah. Dari iklan inilah, media kemudian memperoleh pemasukan yang cukup besar, sehingga kapasitas seorang AE dalam melakukan penawaran dan lobi menjadi penting. Oleh karenanya, mas Adi kemudian memberikan beberapa kiat untuk menjadi seorang AE yang handal, di antaranya, mempunyai rasa percaya diri, good looking (dalam artian rapi dan enak dilihat), berpengetahuan luas, mmepunyai kemampuan menjual dan negosiasi, mampu membangun jaringan dan relasi, serta mengerti kebutuhan klien.

Seminar jurnalistik yang diadakan Tempo Media Group ini memberikan banyak informasi baru dan sekaligus menarik karena informasi tersebut langsung diperoleh dari orang-orang yang sudah lama berkecimpung dalam bidang jurnalistik yang sudah mengalami benar pahit manisnya memburu berita. Melalui kegiatan-kegiatan seminar dan pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh media-media seperti Tempo, diharapkan bahwa aktivitas jurnalisme di kampus-kampus semakin menguat lewat lembaga-lembaga pers mahasiswa. Karena bagaimanapun, pers merupakan sarana bagi mahasiswa untuk menumpahkan idenya mengenai berbagai isu yang menjadi urgensi dan perhatian baik di lingkungan kampus maupun masyarakat secara luas. Sehingga keberadaan pers dan aktivitas jurnalisme di kampus harus tetap dipupuk dan tidak boleh dibiarkan mati begitu saja.

0 comments:

Post a Comment